LAPORAN
PRAKTIKUM
ILMU
DAN TEKNOLOGI DAGING
Disusun
oleh:
Iis
Nuraisah
12/331821/PT/06284
Kelompok
VII
Asisten
Pendamping : Ivone Nurul Hidayah
LABORATORIUM PANGAN
HASIL TERNAK
BAGIAN TEKNOLOGI
HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH
MADA
YOGYAKARTA
2013
HALAMAN
PENGESAHAN
Laporan praktikum Ilmu dan Teknologi Daging disusun
guna memenuhi salah satu syarat dalam menempuh mata kuliah Ilmu dan Teknologi Daging di
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Laporan
praktikum Ilmu dan Teknologi
Daging telah
disahkan oleh asisten pendamping pada tanggal Desember
2013.
Yogyakarta, Desember
2013
Asisten
Pendamping
Ivone
Nurul Hidayah
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun
panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan praktikum Ilmu dan Teknologi Daging. Laporan ini disusun
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti response akhir dalam mata kuliah Ilmu dan Teknologi Daging yang diselenggarakan oleh
Laboratorium Pangan Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada
tahun 2013. Penyusun mengucapkan terimakasih kepada :
1. Prof.
Dr. Ir. Ali Agus., DAA.,DEA. Selaku
dekan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
2. Prof.
Dr. Ir. Soeparno, Dr. Ir. Edi Suryanto, M. Sc., Dr. Ir. Setiyono, SU., Dr.
Rusman, MP., dan Ir. Jamhari, M. Sc. Selaku dosen
pengampu mata kuliah Ilmu dan Teknologi Daging Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
3. Segenap asisten Laboratorium Pangan Hasil Ternak yang telah membimbing dan mengarahkan pelaksanaan praktikum Ilmu dan Teknologi Daging.
4. Semua pihak yang telah membantu sehingga
terselesaikannya laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa isi
laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penyusun sangat
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun. Semoga
laporan ini dapat memberikan manfaat dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Yogyakarta,
Desember 2013
Penyusun
PENDAHULUAN
Dunia yang semakin
berkembang dan semakin maju, yang seiring dengan perkembangan dan kemajuan
teknologi, memerlukan sumber daya manusia
yang berkualitas, yang mampu berfikir dan berkembang mengikuti kemajuan
teknologi yang ada. Konsumsi makanan pokok manusia sehari-hari yang berupa
biji-bijian dan sayuran belumlah mencukupi kebutuhan gizi yang diperlukan oleh
tubuh, sehingga diperlukan konsumsi dari produk hewani lainnya. Produk hewani,
terutama produk peternakan yang meliputi susu, telur dan daging, sangat penting
bagi tubuh karena banyak mengandung asam amino essensial yang pada umumnya
terdapat dalam jumlah yang kurang pada biji-bijian yang biasa digunakan sebagai
bahan makanan pokok manusia.
Ilmu dan Teknologi Daging
terdiri dari tujuh acara yaitu pemotongan ternak, pengenalan daging, uji
kualitas fisik daging, pembuatan dendeng, pembuatan bakso, pembuatan sosis, dan
pengemasan (packaging).
Penanganan yang salah di
dalam pengelolaan daging segar akan berdampak pada kualitas dan kuantitas
daging. Daging segar yang dihasilkan dapat diolah kedalam berbagai jenis
pengolahan salah satunya adalah dendeng, bakso, sosis dan lain-lain. Untuk mengetahui
lebih lanjut terkait teori-teori di atas, maka perlu dilakukan praktikum ini.
ACARA
I
PEMOTONGAN
TERNAK
TINJAUAN
PUSTAKA
Pemotongan
ternak adalah kegiatan penyembelihan hewan potong untuk menghasilkan daging.
Salah satu hal yang perlu dipahami dalam penanganan sebelum penyembelihan
yaitu bahwa kondisi fisik ternak sesaat sebelum penyembelihan dan juga pada
proses penyembelihan mempunyai pengaruh yang sangat berarti terhadap mutu
daging yang dihasilkan dari ternak tersebut. Ternak yang banyak istirahat dan
tenang, pada waktu pemotongan akan menghasilkan daging yang lebih baik mutunya
dibanding dengan ternak yang berada dalam kondisi kelelahan. Oleh karena itu
perlakuan terhadap ternak sebelum dipotong agar diistirahatkan dengan baik,
tidak menderita tekanan dan tidak mengalami perlakuan kasar agar dihasilkan
daging yang baik mutunya (Soperno 2005).
Menurut
Ressang (1996) hewan yang dipotong baru dianggap mati bila
pergerakan-pergerakan anggota tubuhnya dan lain-lain bagian berhenti. Oleh
karena itu setelah ternak tidak bergerak lagi leher dipotong dan kepala
dipi-sahkan dari badan pada sendi Occipitoatlantis.
Pada dasarnya ada dua cara atau tehnik pemotongan ternak,
yaitu: teknik
pemotongan secara langsung dan teknik
pemotongan secara tidak langsung. Pemotongan secara langsung dilakukan setelah
ternak dinyatakan sehat, dan dapat disembelih pada bagian leher dengan memotong
arteri karotis dan vena jugularis serta
oesophagus. Pemotongan ternak secara tidak langsung artinya, ternak dipotong
setelah dilakukan pemingsanan dan setelah ternak benar-benar pingsan. Maksud
pemingsanan ialah memudahkan pelaksanaan penyembelihan ternak, agar ternak
tidak tersiksa dan terhindar dari resiko perlakuan kasar, dan agar kualitas
kulit dan karkas yang dihasilkan lebih baik, karena pada waktu menjatuhkan,
ternak tidak banyak terbanting atau terbentur benda keras sehingga cacat pada
kulit atau memar pada karkas seminimal mungkin (Soeparno, 2005).
Secara umum, mekanisme urutan pemotongan ternak besar di
Indonesia dibagi menjadi dua bagian yaitu proses penyembelihan dan proses
penyiapan karkas, ternak yang sudah dinyatakan sehat oleh dokter hewan atau
petugas yang berwenang dan cap S (slaughter = potong) serta sudah
diistirahatkan dibawa keruang pemotongan dan disiram dengan air dingin. Maksud
penyiraman dengan air dingin adalah agar
ternak menjadi bersih dan agar
terjadi kontraksi perifer (faso kontraksi), sehingga darah dibagian tepi tubuh
menuju kebagian dalam tubuh dan pada
waktu disembelih, darah dapat keluar sebanyak mungkin serta mempermudah
pengulitan (Soeparno, 2005).
Ternak disembelih oleh “kaum” atau “modin” yang juga
menghadap kiblat, sehingga kepala ternak ada disebelah selatan dan ekor di
sebelah utara. Selama proses penyembelihan, setelah bagian kulit, arteri
karotis, vena jugularis, trakhea dan esofagus terpotong, dilakukan pengeluaran
darah dengan pisau yang lazim disebut proses “bleeding” yaitu menusuk leher ke
arah jantung, pengeluaran darah yang tidak sempurna selama proses penyembelihan
menyebabkan lebih banyak residu darah yang tertinggal di dalam karkas sebingga
daging yang dihasilkan lebih gelap dan lemak daging dapat tercemar oleh darah (Swatland,
1994).
Menurut Soeparno (2005), ada tiga macam teknik pengulitan
yaitu pengulitan di lantai, pengulitan dengan digantung, dan pengulitan dengan
menggunakan mesin. Pengulitan diawali dengan membuat irisan panjang pada kulit
sepanjang garis tengah dada dan bagian perut (abdomen). Kemudian irisan
dilanjutkan sepanjang permukaan dalam (medial) kaku. Kulit dipidahkan mulai
dari ventral ke arah punggung tubuh ternak (Setiyono, 2000). Pemeriksaan daging
meliputi pemeriksaan sebelum ternak dipotong, lazim disebut pemeriksaan
antemortem dan pemeriksaan setelah pemotongan atau yang azim disebut
postmortem, yaitu pemeriksaan karkas dam alat-alat dalam (viscera), serta
produk akhir (Soeparno, 2005).
MATERI
DAN METODE
Materi
Materi yang digunakan adalah kuistioner dan alat tulis.
Metode
Praktikum yang dilaksanakan adalah pengamatan
proses pemotongan ternak ruminansia besar seperti sapi di Rumah Potong Hewan
Sub Dinas Kehewanan Giwangan Yogyakarta. Praktikum ini juga dilaksanakan dengan
membandingkan hasil pengamatan cara pemotongan ternak ruminansia besar pada
rumah potong hewan dengan teori yang dibenarkan tentang cara pemotongan pada
berbagai referensi buku. Data yang diamati adalah metode penyembelihan, bangsa
ternak, jenis kelamin, umur, bobot hidup, bobot karkas, lama waktu
masing-masing proses dan lokasi pemasaran.
HASIL
DAN PEMBAHSAN
Berdasarkan praktikum yang
telah dilakukan dapat diketahiu hasil pengamatan yang terdiri dari sejarah
berdirinya RPH Giwangan, syarat-syarat berdirinya RPH yang baik, proses
pemotongan dan penyakit umum pada ternak dan cara penanganannya.
Sejarah berdirinya RPH. RPH Giwangan
merupakan pindahan dari RPH Ngmpilan pada bulan Mei 2008, karena lokasi dan
kondisinya sudah tidak memungkinkan. RPH Giwngan merupakan yang partama di
Yogyakarta. Secara umum mulai di fungsikannya yaitu pada ahir tahun 2008. Menurut
Gittinger dan Adler (1990), bagian induk RPH harus mengacu pada Standar
Nasional Indonesia (SNI) mengenai RPH yaitu 01-615-1999 yang sesuai dengan SNI
meliputi: Bagian utama terdiri dari rumah pemotongan, kandang penampungan sementara, karantina, tempat penurunan sapi,
ruangpembakaran, ruang diesel, pengolaha limbah
cair, perkantoran, laboratorium dan gang-gang di sekitar RPH. Bangunan
pendukung terdirir dari: gudang, garasi, pos jaga, perumahan, kantin, ruang
istirahat dan tempat ibadah. Infrastruktur terdiri atas: jalan-jalan dan area
parkir, tower tempat air dan pagar atau tembok pembatas.
Denah
Lokasi Rumah Potong Hewan. Denah
lokasi RPH Giwangan sebagai berikut.
Gambar 1.1 Denah Rumah Potong Hewan Giwangan
Syarat berdirinya Rumah Potong Hewan. Tujuan didirikannya RPH adalah sebagai tempat
memotong hewan potong untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging masyarakat.
Syarat berdirinya RPH harus memiliki persyaratan tertentu. Berikut syarat
berdirinya Rumah Potong Hewan yang baik menurut PP No 13/2010.
Persayaratan bangunan adalah sebagai berikut. Kompleks
rumah potong hewan harus terdiri dari : bangunan utama, kandang penampung dan
istirahat hewan, kandang isolasi, kantor administrasi dan kantor dokter hewan,
tempat istirahat karyawan (kantin dan musola), tempat penyimpanan barang
pribadi (locker), kamar mandi dan WC, sarana penanganan limbah, insenerator,
tempat parker, rumah jaga, gardu listrik dan menara air. Rumah potong hewan
dilengkapi dengan: ruang pendingin (chilling room) atau ruang pelayuan, ruang
pembekuan, ruang pembagian karkas dan pengemasan, dan laboratorium.
Peralatan-peralatan yang
terdapat di RPH Giwangan terdiri dari pisau, killing box, katrol, timbangan.
Menururt Djamin (2000), rel untuk menggantung karkas harus berjarak 1 m dari
dinding terdekat,perlengkapan penunjuang terbuat dari bahan yang tidak mudah
korosif dan mudah dibersihkan. Peralatan yang berhubungan langsung dengan
daging harus terbuat dari bahan yang tidak toksik, tidak mudah korosif dan
mudah dibersihkan.
Persyaratan
prasarana tambahan adalah sebagai berikut. Akses jalan yang baik menuju RPH
yang dapat dilalui kendaraan pengangkut hewan potong dan kendaraan daging,
sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah, cukup
paling tidak 1000 liter/ekor/hari, sumber tenaga listrik yang cukup dan
tersedia terus menerus, dan fasilitas penanganan limbah padat dan cair.
Lampu
di ruang aRPH harus terang yaitu dengan penerangan 540 lux.
Berdasarkan hasi wawancara
secara langsung denga petugas RPH Giwangan, dapat diketahui bahwa juru sembelih
di RPH Giwangan ada 3 orang, dokter hewan 3 orang, keurmaster ada 8 orang.
Menururt Sutojo (1995), petugas di RPH yang baik yaitu terdiri dari dokter
hewan minimal 1orang, keurmaster minimal lulusan SMK peternakan, juru sembelih
minimal 1 orang, higieny saitasi 8 orang. Sutojo (1995), juga menyatakan setiap
karyawan harus sehat, minimal diperksa secara rutin satu bulan satu kalidalam
setahun dan memperoleh pelatihan yang berkesinambungan tentang higieny dan
mutu.
Proses
pemotongan. Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan proses pemotongan di RPH Giwangan adalah sebagai
berikut.
Tabel 1.1 Hasil pengamatan pemotongan
ternak sapi
Pengamatan
|
Hasil
|
bangsa sapi
|
Simpo
|
jenis kelamin
|
Betina
|
umur sapi
|
1,5 tahun
|
berat hidup (kg)
|
194
|
lama pemotongan
|
2 menit, 35 detik
|
lama pengulitan
|
7 menit, 40 detik
|
lama pengeluaran jeroan
|
2 menit, 21 detik
|
lama pembelahan karkas
|
2 menit
|
berat karkas (kg)
|
97
|
bagian yang di parting
|
shank, sirloin, tenderloin, chuck, rib,
dan cubrol
|
pemeriksaan antemortem
|
umur, fisik, mata, dan rambut
|
pemeriksaan postmortem
|
organ merah, lidah, daging karkas, mamae
dan empedu
|
ada atau tidaknya penyimpangan pada
proses pemotongan
|
tidak ada
|
ada atau tidaknya penyakit yang
ditemukan
|
tidak ada
|
Hewan ternak yang dipotong pada praktikum Rumah Potong
Hewan adalah jenis sapi Simpo, jenis kelamin betina, umur 1,5 tahun, berat
hidup 194 Kg. Pemotongan yang dilakukan di RPH Giwangan yaitu
dengan pemotongan secara langsung (halal method).
Proses pemotongan diawali dengan pengistarahan ternak selama kurang
lebih 12 jam dengan cara pemuasaan ditempat pengistarahan. Tujuan dari
pemuasaan adalah untuk memperoleh berat tubuh kosong dan untuk mempermudah
proses penyembelihan terutama pada hewan liar. Menurut Soeparno (2005) tujuan
dilakukan pengistirahatan adalah agar ternak tidak stres, agar pada saat
disembelih darah dapat keluar sebanyak-banyaknya dan agar pada saat disembelih
cukup tersedian tenaga sehingga proses kekakuan karkas (rigormortis) dapat
berlangsung secara sempurna.
Sebelum sapi masuk ke proses pemotongan, dilakukan
pemeriksaan antemortem. Hal-hal yang diamati pada pemeriksaan ini adalah umur,
fisik, mata, rambut, dan kulit. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk
mengetahui kondisi kesehatan ternak secara fisik. Menurut Haqiqi (2009)
pemeriksaan antemortem untuk mengidentifikasi dan menyingkirkan
pemotongan ternak-ternak yang terkontaminasi/terserang
penyakit terutama penyakit yang dapat menulari manusia
yang mengkonsumsinya. Mencegah
agar ternak yang kotor tidak memasuki Rumah Potong, hal ini untuk mencegah agar lantai Rumah Potong
tidak kotor. Melakukan
pemeriksaan penyakit-penyakit ternak yang bisa menular pada manusia.
Memeriksa umur ternak dengan
teliti dan benar, agar tidak tertukar antara daging
dari ternak muda yang kualitasnya baik dengan daging yang berasal dari ternak yang sudah tua yang
umumnya kualitasnya kurang baik. Permukaan
luar kulit hewan
yang sehat bulunya akan terlihat mengkilat dan
turgornya baik. Pemeriksaan pada bibir dan hidung apakah basah atau tidak, cara mengunyah atau memamah biak. Kondisi tubuh hewan apakah gemuk, kurus
atau sedang. Ternak yang datang, dilakukan pemeriksaan antemortem. Tujuan dari
pemeriksaan antemortem adalah untuk mengetahui ada ternak yang cedera, sehingga
ternak harus dipotong sebelum ternak yang lain dan untuk mengetahui
ternak-ternak yang sakit dan harus dipotong secara terpisah dengan ternak yang
sehat (Soeparno, 2005).
Menurut petugas di RPH Giwangan,
sebelum ternak di potong diminta dulu surat keterangan hewan yang dan di
periksa kesehatan ternaknya. Cara paling mudah untuk memeriksa kesehatan ternak
sapi yaitu dilihat dari hidung dan moncongnya. Setelah pemeriksaan ternak, maka
akan diperoleh S (sloker) yang artinya x1= masih produktif dan x2=
tidak boleh dipotong.
Setelah pemuasaan, ternak
digiring dari kandang penampung, ternak disiram dengan air, air digunakan agar
ternak bersih dan mempermudah pengulitan. Setelah itu, ternak masuk dalam killing box, yang berupa ruangan sempit segi empat panjang dengan salah
satu sisinya bisa dibuka. Setelah ternak masuk, kaki diikat, sisi killing box
dibuka dan ternak jatuh menghadap kiblat. Pemotongan dilakukan sesuai syariat
Islam. Sapi dipotong dengan menghadap kiblat, kepala berada di sebelah selatan
dan ekor di sebelah utara. Ternak disembelih dengan mengiris pada bagian kulit,
vena jugularis, arteri carotis oesophagus dan trakhea. Proses penyembelihan
memakan waktu 2 menit 35 detik. Proses penyembelihan tidak terlalu lama atau
ternak harus cepat mati, sehingga tidak terlalu lama tersiksa (Soeparno, 2005).
Setelah itu, kepala dipisah
dan dilakukan pengulitan gantung, proses pengulitan berjalan selama 7 menit 40
detik, setelah pengulitan, rongga perut dibuka, dikeluarkan jerohannya. Pengeluaran
ini memakan waktu 2 menit 21 detik. Jerohan lalu dimasukkan dalam ruangan yang
berbeda, yaitu ruang jerohan hijau untuk saluran pencernaan dan ruang jerohan
merah untuk jantung, paru-paru, hati, limpa dan ginjal, dalam ruangan tersebut
organ-organ dibersihkan dan diperiksa secara postmortem, seperti adanya cacing
pada hati atau batu ginjal pada ginjal.
Pembelahan karkas di RPH Giwangan
memakan waktu 2 menit. Pembelahan dilakukan dengan mesin, mulai dari tulang
leher, karkas dibelah menjadi dua, sebelah kiri dan kanan. Setelah itu karkas
ditimbang secara sensoris, beratnya mencapai 97 kg. Presentase karkas dari satu
tubuh sapi mencapai 40-50%. Karkas lalu masuk ke ruang lain untuk
dipotong-potong sesuai keinginan konsumen. Sebelum dipotong-potong, seharusnya
karkas dilayukan dahulu kurang lebih 8 jam, namun karena konsumen ingin
mendapatkan segera karkasnya, maka proses pelayuan tidak dilakukan.
Pengangkutan biasanya diambil sendiri oleh konsumen atau diantar ke kios-kios.
Penyakit
Umum pada Ternak dan Cara Penangannya. Penyakit yang sering ditemukan di RPH Giwangan adalah brusilosis, fasciola, dan toksa. Brusilosis adalah penyakit
reproduksi menular ruminansia yang disebabkan oleh kuman brucella sp. Brucella menyebabkan keguguran atau keluron pada umur
kebuntingan tertentu. Cara penangan brusilosis adalah
dibakar, dikubur dan tidak dikonsumsi. Menurut Suryani (2012) fasciola merupakan penyakit
yang banyak menyerang hewan ternak (sapi) dan mampu memberikan dampak luas pada
individu yang terserang. Faciola disebabkan oleh cacing fasciola
hepatica. Cara penganan fasciola
dengan dipotong bagian yang tidak cacingan. Sedangkan toksa menurut Andreas (2012) toksa merupakan suatu
infeksi yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma
gondii yang penyebarannya bisa terjadi melalui makanan atau air yang
sudah terkontaminasi serta bisa juga ditularkan dari hewan ke manusia. Cara penganan toksa adalah dengan
menstrilkan bahan-bahan yang digunakan untuk keperluan peternakan dan tidak
memberi pakan yang masih berair.
KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa syarat berdirinya RPH harus memenuhi persyaratan lokasi,
persyaratan prasarana tambahan, persyaratan bangunan, persyaratan peralatan,
dan persyaratan sumber daya manusia. RPH yang diamati belum memenuhi baik,
karena belum sesuai dengan persyaratan berdirinya RPH berdasarkan PP/No
13/2010. Pemotongan yang dilakukan menggunakan metode pemotongan secara
langsung (halal method).
DAFTAR
PUSTAKA
Andreas,
Ken. 2012. Penyakit Tokso. http://caraatasitokso.blogspot.com/. Diakses tanggal 11 desember 2013.
Djamin,
Zulkarnain. 2000. Perencanaan dan Analisis Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Gittinger,
J. Price and Adler, H. A. 1990. Evaluasi proyek. Terjemah Soemarsono. S. R.
Rineka Cipta. Jakarta.
Ressanger,
A. Z dan A. M. Nasution. 1996. Pedoman Mata pelajaran Ilmu Kesehatan Susu.
Fakultas peternakan IPB. Bogor
Setiyono.
2000. Abatoir dan Tehnik Pemotongan. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Sutojo,
Siswanto. 1995. Studi Kelayakan Proyek: teori dan Praktek. Lembaga PDM dan PT
Pustaka Binaman Presindo. Jakarta
Soeparno,
2005. Ilmu dan Teknologi Daging, cetakan 4. Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Sohibul Himam Haqiqi. 2009. Laporan Hasil PengamatanUnit Pelayanan Teknis Daerah
(UPTD)Perusahaan DaerahRumah Potong Hewan Di Kabupaten Jombang. Fakultas
PeternakanUniversitas Brawijaya, Malang.
Suryani,
Kiki. 2012. Fasciola hepatica (Cacing hati). http://erickbio.wordpress.com/2012/08/12/fasciola-hepatica-cacing-hati/. Diakses tanggal 11 Desember 2013
Swatland,
H., J. 1994. Structure and Development of Meat Animals. Prentice Hall Inc.,
Englewood Cliffs. New Jersey.
ACARA
II
PENGENALAN
DAGING
TINJAUAN
PUSTAKA
Daging merupakan bahan
pangan sumber protein dengan kandungan gizi yang lengkap dan bisa diolah
menjadi berbagai jenis produk makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat. Daging
didefinisikan sebagai semua jaringan hewan yang layak untuk dimakan dan tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya termasuk diantaranya hati,
ginjal, otak, paru, jantung, limpa, pankreas dan jaringan otot serta semua
produk daging (Soeparno,2005).
Soeparno (2005), daging
didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua hasil produk hasil
pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya.
Nilai pH daging tidak akan
pernah mencapai nilai di bawah 5,3. Hal
ini disebabkan karena pada nilai pH di bawah 5,3 enzim-enzim yang terlibat
dalam glikolisis anaerob tidak aktif berkerja. (purnomo, 1996). Keempukan
daging sangat mempengaruhi persepsi konsumen dalam menilai mutu daging. Kesan
empuk melibatkan tiga aspek berikut: kemudahan penetrasi gigi ke dalam daging,
kemudahan pengunyahan daging menjadi potongan-potongan yang lebih kecil dan
jumlah residu (sisa) yang tertinggal setelah pengunyahan (Muchtadi, 1994).
Pada temperature pemasakan
80% 0C, daging yang mengalami pemendekan dingin pada PH normal 5,4-5,8,
menghasilkan susut masak yang lebih besar dari pada susut masak daging renggang
dengan panjang serabut yang sama (Winarno, 2004). PH daging yang berhubungan
dengan DIA, kesan jus daging, keempukan dan susut masak, juga bisa berhubungan
dengan warna dan sifat mekanik daging (daya putus WB), kompresi, adhesi dan
kekuatan tarik ). Suatu kenaikan pH daging akan meningkatakan jus daging (KJ
dan DIA) dan menurunkan susut masak otot SM dan LD domba secara linear.
Keempukan daging banyak ditentukan setidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu
struktur miofibrilar dan status kontraksinya (Winarno, 2004).
MATERI
DAN METODE
Materi
Alat.
Alat yang digunakan pada praktikum pengenalan daging yaitu kertas kerja, sarung
tangan plastik dan alat tulis
Bahan. Bahan yang digunakan pada prktikumpengenalan
daging yaitu sampel daging sapi, daging domba, daging kerbau, daging kuda, kambing, dan daging babi.
Metode
Metode yang dilakukan pada
praktikum pengenalan daging yaitu karakteristik daging diamati yang meliputi
warna daging, tekstur serat, bau dan aroma, warna dan jumlah lemak daging.
Hasil pengamatan di tulis pada kertas kerja.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan praktikum yang
telah dilakukan terhadap pengenalan daging
dapat diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel
2.1
Hasil pengamatan pengenalan daging
nNo
|
Macam Daging
|
Warna Daging
|
Tekstur Daging
|
Konsistensi Daging
|
Jumlah Marbling
|
Wrna Lemak
|
1
|
Daging sapi
|
Merah
|
Halus
|
Kenyal
|
Sedang
|
Putih
|
2
|
Daging kambing
|
Merah tua
|
Halus
|
Empuk
|
Sedikitt
|
Putih
|
3
|
Daging Domba
|
Merah tua
|
Kasar
|
Keras
|
Banyak
|
Kuning
|
4
|
Daging Kerbau
|
Merah tua
|
Kasar
|
Keras
|
Sedikit
|
Putih
|
5
|
Daging Kuda
|
Merah tua
|
Halus
|
Kenyal
|
Sedikit
|
Putih
|
6
|
Daging Babi
|
Merah tua
|
Halus
|
Kenyal
|
Banyak
|
Kuning
|
Daging Sapi. Berdasarkan hasil pengamatan daging sapi berwarna
merah, tekstur halus, konsistensi daging empuk, jumlah marbiling banyak dan warna lemak putih. Menurut Tim Dapur DeMedia (2012) ciri-ciri daging
sapi adalah dagingnya berwarna merah terang dan lemaknya berwarna kekuningan,
tekstur dagingnya kenyal. Menurut Riyanti (2007), daging sapi yang baik adalah
berwarna merah lemaknya putih dan tekstur halus. Ciri-ciri daging yang diamati
dan literatur terdapat kesesuaian, jadi dapat disimpulkan daging yang diamati
adalah dengan kualitas baik. Menurut Widati (2008) daging sapi memiliki kadar
air 73,22%, kadar abu 0,41%, protein 21,36%, dan lemak 1,18%.
Daging Kambing. Berdasarkan
hasil pengamatan daging kambing berwarna merah, tekstur daging halus,
konsistensi daging empuk, jumlah marbling sedikit, dan warna lemak putih.
Menurut Setyawan (2011) daging kambing umumnya menimbulkan bau
prengus, warna daging kambing umumnya lebih
merah daripada daging domba, dan sebaran lemak daging kambing hanya terdapat
pada jeroan. Ciri-ciri daging yang diamati terdapat kesesuaian dengan
literatur, maka dapat disimpulkan daging yang diamati berada dalam kualitas
baik. Menurut Rostini (2011) daging kambing terdiri bahan
kering 24.07 %,kadar abu1.25%, protein
kasar18.68 %, serat
kasar0.77 %, lemak
kasar1.65 %, dan bet-n2.48 %.
Daging Domba. Daging domba yang diamati berwarna merah tua,
tekstur daging kasar, konsistensi daging keras, jumlah marbling banyak, dan warna lemak kuning. Menurut Setyawan (2011) daging domba memilki tekstur yang lebih empuk
dan halus. Daging domba tidak berbau amis, dan sebaran lemak daging domba
tersebar diseluruh bagian tubuh. Ciri-ciri daging yang diamati terdapat
kesesuaian, Lemak daging domba yang diamati tersebar diseluruh permukaan
daging, jadi dapat disimpulkan daging yang diamati tidak dalam kondisi baik.
Menurut Komunitas Edukasi Dan Jaringan Usaha (2012), daging
Domba mengandung energi sebesar 206 kilokalori, protein 17,1 gram, karbohidrat
0 gram, lemak 14,8 gram, kalsium 10 miligram, fosfor 191 miligram, dan zat besi
3 miligram. Selain itu di dalam Daging Domba juga terkandung vitamin A
sebanyak 0 IU, vitamin B1 0,15 miligram dan vitamin C 0 miligram. Hasil
tersebut didapat dari melakukan penelitian terhadap 100 gram Daging Domba,
dengan jumlah yang dapat dimakan sebanyak 100 %.
Daging Kerbau. Daging kerbau yang diamati memiliki warna daging
merah tua, tekstur daging kasar, konsistensi daging keras, jumlah marbling sedikit, dan warna lemak putih. Daging
kerbau belum populer karena ternak yang dipotong umumnya berasaldari ternak
yang tua (8-10 tahun) dan dipekerjakan untuk membajak sawah sertamenarik barang
(sebagai kendaraan). Akibatnya, daging kerbau yang dijual di pasartidak empuk, juiceness
rendah, flavornya kurang enak sehingga tidak memenuhisyarat sebagai daging
yang bermutu baik (Ditjen Peternakan, 2005). Menurut Riyanti (2007) daging kerbau yang baik adalah
berwarna merah tua, berserat kasar dan keras, dan lemak berwarna kuning tua.
Ciri-ciri yang terdapat pada daging kerbau yang diamati sudah sesuai dengan
literatur, jadi dapat disimpulkan bahwa daging kerbau yang diamati berada dalam
kondisi baik.
Menurut Rahmat (2008) daging kerbau memiliki
karakteristik nilaipH daging 5,4; kadar air 76,6%; protein 19%; dan kadar abu
1%.Lemak kerbau berwarna lebih putih dan daging kerbau berwarna lebih
gelapdibandingkan dengan daging sapi. Hal ini disebabkan lebih banyaknya
pigmentasipada daging kerbau atau lemak intramuskulernya yang lebih sedikit
(National Research Council, 1981). Kualitas makan daging kerbau serupa dengan
daging sapi,bahkan lebih disenangi di beberapa daerah. Kadar lemak daging
kerbau lebih rendahsehingga dapat memenuhi keinginan konsumen dewasa ini.
Walaupun demikian,daging kerbau juga lebih banyak mengandung tenunan pengikat
dan berwarna lebihgelap sehingga cenderung mengurangi kualitasnya dibandingkan
dengan daging sapi(Lawrie, 2005).
Daging Kuda. Daging kuda yang diamati memiliki warna daging merah
tua, tekstur daging halus, konsistensi daging kenyal,
jumlah marbling sedikit, dan warna lemak putih. Daging kuda yang baik adalah daging berwarna coklat
merah sampai hitam kemerahan, serabut ototnya halus dan panjang, lemak berwarna
kuning emas, dan diantara serabut tidak ditemukan adanya lemak (Farlys.com).
Ciri-ciri daging yang diamati tidak terdapat kesesuaian dengan literatur, hal
ini disebabkan daging kuda yang diamati sewaktu hidupnya hanya digunakan
sebagai ternak kerja, sehingga tidak ada timbunan lemak didalam dagingnya. Jadi
dapat disimpulkan daging kuda yang diamati tidak dalam kondisi baik.
Daging kuda adalah bahan makanan
hewani yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut Komunitas
Edukasi Dan Jaringan Usaha (2012) daging Kuda mengandung energi sebesar
118 kilokalori, protein 18,1 gram, karbohidrat 0,9 gram, lemak 4,1 gram,
kalsium 10 miligram, fosfor 150 miligram, dan zat besi 3 miligram. Selain
itu di dalam Daging Kuda juga terkandung vitamin A sebanyak 0 IU, vitamin B1
0,07 miligram dan vitamin C 0 miligram. Hasil tersebut didapat dari
melakukan penelitian terhadap 100 gram Daging Kuda, dengan jumlah yang dapat
dimakan sebanyak 100 %.
Daging Babi. Warna daging merah muda, tekstur daging halus, konsistensi daging kenyal, jumlah marbling banyak dan warna lemak kuning. Menurut Tim Dapur DeMedia (2012) ciri-ciri daging celeng atau babi
adalah dagingnya berwana lebih pucat, tekstur lemaknya lebih halus, lemaknya
tebal, dagingnya lebih menganung air daripada daging sapi, dan aroma daging
celeng lebih amis daripada daging sapi. Ciri-ciri daging babi yang diamati
terdapat kesesuaian, jadi dapat disimpulkan daging babi yang diamati berada
dalam kondisi baik. Menurut Setyawan (2011) daging babi terdiri dari lemak 0,81 %, kolesterol 85,17 %, protein
21,05%, dan air 74.94.
Perbedaan antara hasil pengamatan dan literatur disebabkan kualitas
daging yang dipakai bukan daging dengan kualitas baik. Hal ini disebabkan
lamanya penyimpanan (pengawetan) dengan cara didinginkan dan perendaman. Hal
lain yang mempengaruhi kualitas daging yaitu proses penyembelihan yang tidak
memakai prosedur yang benar.
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor
sebelum dan setelahpemotongan. Faktor yang mempengaruhi kualitas daging sebelum
pemotonganmeliputi genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur,
pakan (termasukbahan aditif) dan stress (Soeparno, 2005). Formulasi pakan dapat
mempengaruhikualitas daging, komposisi daging dan umur simpan. Metode pemberian
pakan padaternak juga dapat mempengaruhi warna, kualitas, flavor dan oksidasi
lemak padadaging (O’Sullivan et al., 2004).
Faktor yang mempengaruhi kualitas daging
setelahpemotongan yaitu metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan,
pH karkasdan daging, bahan tambahan (enzim pengempuk daging, hormon dan
antibiotik),lemak intramuskuler (marbling), metode penyimpanan dan preservasi,
jenis ototdaging serta lokasi anatomis (Soeparno, 2005; Lawrie, 2005). Faktor kualitas
dagingkonsumsi terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma
(bau,7cita rasa dan juiceness). Selain itu, lemak intramuskuler, susut
masak (cooking loss),retensi cairan dan pH daging ikut menentukan kualitas
daging (Soeparno, 2005).
KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum
yang telah dilakukan kandungan gizi daging sebagian besar terdiri dari air
(65-80%), protein (16-22%), lemak (1,3-13%), substansi non-protein nitrogen
(1,5%), karboidrat dan mineral besar 1%. Berdasarkan ciri-ciri yang diamati
daging sapi, babi, kerbau, dan kambing berada dalam kondisi baik, sementara
daging domba dan kuda tidak dalam kondisi baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Direktorat Jendral
Peternakan. 2005. Lokakarya Pengembangan dan Peningkatan Produksi
Ternak Kerbau serta Potensi Peluang dan Tantangan Usaha TernakKerbau Mendukung
Agribisnis Peternakan. Direktorat Jendral Peternakan,Bogor.
Lawrie,
R. A. 2005. Ilmu daging. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Maruddin,
F. 2004. Kualitas Daging sapi Asap pada Lama Pengasapan dan Penyimpanan. J
Sains. Tekhnol. Bogor.
O’Sullivan, A., K.
O’Sullivan, K. Galvin, A. P. Moloney, D. J. Troy dan J. P. Kerry.2004.
Influence of concentrate composition and forage type on retailpackaged beef
quality. J. Anim. Prod.
Rahmat, N., H. Nuraini, P. B. Mahyuddin. 2008. Penampilan Produksi Dan Kualitas Daging KerbauDengan Penambahan
Probiotik, KunyitDan Temulawak Pada PakanPenggemukan. Program Studi
Teknologi Hasil TernakFakultas PeternakanInstitut Pertanian Bogor.
Riyanti, GW. 2007. Cerdas dan Kreatif Panduan Cerdas
dan Lengkap Seputar Rumah. Qultum Media. Jakarta.
Rostini, Tintin. 2011. Upaya Meningkatkan Kualitas Daging Kambing Kacang
Melalui Penggunaan Silase Ransum Komplit Berbahan Baku Lokal. Program Studi
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan Banjarmasin
Setyawan, Budi S. 2011. Beternak Domba dan Kambing. PT
AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Soeparno.
1998. Ilmu dan teknologi Daging gadjah mada University Press, Yogyakarta.
Sugiyono.
1996. Ilmu dan Pangan. Jurusan Pendididkan Kesjahteraan keluarga. FPTK IKIP
Yogyakarta.
Suryati,
et., al. 2006. Suplement to Meat inpection. Rigby Publisher Limited Adelaide.
Tim Dapur DeMedia. 2012. Masakan Daging Sapi
Nusantara. DeMedia Pustaka. Jakarta
ACARA
III
UJI
KUALITAS FISIK
TINJAUAN
PUSTAKA
Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi pH daging seperti yang dikemukakan Soeparno (2005), stres sebelum
pemotongan, seperti iklim, tingkah laku agresif diantara ternak sapi atau
gerakan yang berlebihan, juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap penurunan
atau habisnya glikogen otot dan akan menghasilkan daging yang gelap dengan pH
yang tinggi (lebih besar dari 5,9). Nilai pH daging ini perlu diketahui karena
pH daginga akan menentukan tumbuh dan berkembangnya bakteri. Hampir semua bakteri
tumbuh secara optimal pada pH sekitar 7 dan tidak akan tumbuh persis dibawah pH
4 atau diatas 9, tetapi pH untuk pertumbuhan optimal ditentukan oleh kerja
stimulan dari berbagai variabel lain di luar faktor keasaman itu sendiri
(Lawrie, 1998).
Pengujian daya mengikat air
merupan pengujian untuk mengetahui seberapa besar daging tersebut mampu
mengikat air bebas. Daya Mengikat Air (DMA) diukur dengan menggunakan metode
penekanan Hamm (T. Suryati, 2006). Selain itu menurut muchtadi (1992),
parameter yang dapat digunakan untuk melihat daya mengikat air pada daging
dapat dilakukan dengan melihat tingkat kelembaban daging, daging yang lembab
mengindikasikan bahwa daya mengikat daging tersebut terhadap air cukup tinggi,
sedangkan daging yang agak kering mengindikasikan daya mengikat daging tersebut
telah berkurang, hal ini biasanya ditandai dengan penampakan warna daging yang
agak kehitaman (daging DFD).
Penurunan nilai daya ikat
air oleh protein daging, dan pada saat penyegaran kembali (thawing) daging
beku, terjadi kegagalan serabut otot menyerap kembali semua air yang mengalami
translokasi atau keluar pada saat penyimpanan beku (Lawrie, 1995). Proses
pembekuan juga dapat meningkatkan kerusakan protein daging, sehingga daya ikat
air terhadap protein daging akan semakin lemah, yang akan menyebabkan nilai
daya ikat air (Purnomo, 1996). Hal ini juga akan terlihat pada banyaknya cairan
yang keluar (drip) pada saat daging beku tersebut di thawing. Semakin tinggi
cairan yang keluar dari daging menunjukkan bahwa nilai daya ikat air oleh
protein daging tersebut semakin rendah. Penurunan nilai daya mengikat air juga
dapat meningkatkan nilai susut masak (Soeparno, 2005).
Nilai susut masak merupakan
nilai massa daging yang berkurang setelah proses pemanasan atau pengolahan
masak. Nilai susut masak ini erat kaitannya dengan daya mengikat air. Semakin
tinggi daya mengikat air maka ketika proses pemanasan air dan cairan nutrisipun akan sedikit yang keluar
atau yang terbuang sehingga massa daging yang berkurangpun sedikit. Menurut Suryati
et., al (2006) daging yang mempunyai
angka susut masak rendah, memiliki kualitas yang baik karena kemungkinan
keluarnya nutrisi daging selama pemasakan juga rendah. Daging beku atau
disimpan dalam suhu dingin cenderung akan mengalami perubahan protein otot,
yang menyebabkan berkurangnya nilai daya ikat air protein otot dan meningkatnya
jumlah cairan yang keluar (drip) dari daging (Lawrie, 1998).
Keempukan daging merupakan
faktor penting dalam pengolahan daging. Keempukan dapat diukur dengan nilai
daya putus Warner-Bratzler (WB). Keempukan sangat berkaitan erat dengan status
panjang sarkomer otot. Daging dengan sarkomer yang lebih pendek setelah fase
rigormortis memiliki tingkat kealotan lebih tinggi dibanding yang sarkomernya
tidak mengalami pemendekan (Muchtadi, 1992). Kualiatas daging akan berpengaruh
pada penyimpanan suhu dingin, dan penyimpanan pada suhu dingin dapat
mengakibatkan terjadinya pemendekan otot (T. Suryati, 2004).
MATERI
DAN METODE
Materi
Alat. Alat yang digunakan pada
praktikum ini adalah pH meter merek Hanna, beaker
glass 50 ml, pengaduk kaca, plastik poliethylene, timbangan analitik, panci,
kertas saring, plastik mika, kertas
milimeter blok, spidol permanen, barbol 35 kg, stop watch, plat kaca, pisau,
jangka sorong, dan alat ujii keempukan (warner-bratzler).
Bahan. Bahan yang digunakan pada
praktikum ini adalah daging sapi, aquades, dan larutan buffer pH 7,0.
Metode
Uji
nilai pH. Daging seberat 2 gr dicincang
dan dimasukkan kedalam beaker, lalu ditambah 18 ml aquades, diaduk hingga
homogen. pH diukur dengan pH meter (pH meter sebelumnya telah dikalibrasi
dengan larutan buffer pH 7,0) kedalam beaker gelass dan ditunggu hingga pH
daging konstan. Pengukuran dilakukan dengan pengulangan sebanyak tiga kali
kemudian hasilnya dirata-rata.
Uji
susut masak. Daging sapi dipotong searah serat dan
ditimbang sebanyak lebih kurang 25 gr (X). Daging dimasukkan kedalam plastik
poliethylen dan dikemas vakum dengan mesin vakum. Daging dimasak dengan
menggunakan kompor pada suhu 900 selama 30 menit (sampai matang atau
warnanya sudah terlihat coklat). Daging kemudian didinginkan (thawing) masih
dalam keadaan tertutup menggunakan air mengalir. Daging dikeluarkan dari
plastik poliethylen dan di lap dengan kerts tisue, ditimbang berat ahir (Y).
Susut masak (%) = X-Y x 100%
X
Uji
daya ikat air (DIA). Daging dipotong dan ditimbang seberat lebih
kurang 0,3 gr, kemudian diletakkan diatas kertas saring bebas air diantara dua
plat kaca, diberi bahan seberat 35 kgselama 5 menit. Area basah yang terbentuk
digambar diatas plastik mika, luas basah
yang terbentuk digambar diatas plastik miimeter blok. Berat air yang dilepaskan
selama pengepresan dapat dihitung.dengan rumus:
Mg H2O = Luas area
basah (cm2) – 8
0,0948
Sehingga
kadar ai bebas dapat dihitung dengan
rumus:
Kadar Air Bebas = mg H2O
x 100%
300
Sampel
daging sebanyak lebih kurang 1 gr (X) ditimbang, dimasukkan kedalam botol
tmbang yang telah diketahiu bera kosong (Y). Sampel dioven selama 1050C
(12 jam), didinginkan dan ditimbang samapi beratnya konstan (Z). Kadar air
sampel dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
KAT = X+Y-Z x 100%
X
DIA = kadar Air total – Kadar Air
Bebas
Uji
keempukan. Sampel daging dari uji susut masak dipotong
searah serat dan dengan ukuran 0,67 cm lebar 1,5 cm. Sampel diletakkan pada alat uji keempukan warner–braztler. Pengujuan dilakkukan di tiga bagian kemudian
hasilnya dirata-rata.
HASIL
DAN PEMBBAHASAN
Uji
warna daging. Berdasarkan hasil pengamatan pada warna
daging dapat diketahui hasilnya sebagai
berikut:
Tabel
3.1 Warna daging
No
|
Sampel
|
Skor warna
|
1
|
Daging 1
|
tiga
|
Warna daging pada praktikum yang
dilakukan menunjukkaan skor warna tiga, yaitu warna merah yang terang. Warna
merupakan salah satu indikator kualitas daging meskipun warna tidak
mempengaruhi nilai gizi. Warna daging dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain faktor pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat
aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen. Penentuan warna tergantung dari
konsentrasi mioglobin. Warna daging tergantung dari tipe molekul mioglobin,
kondisi kimia, fisik serta komponen lain dalam daging. Pengaruh pigmen
kromoprotein, hemoglobin, sitokrom, flavin dan vitamin B12 relatif sangat
kecil. Kualitas warna tidak mempengaruhi nilai gizi daging, tetapi daging yang
berwarna kuning cenderung berkualitas rendah. Lemak marbling tidak mempengaruhi
mioglobin dan hemoglobin, tetapi lemak daging segar kadang-kadang berwarna
kuning karena akumulasi pigmen karotenoid di dalam jaringan (Nurwantoro et al,
2003). Jadi dspst disimpulkan sapi yang diamati dalam kondisi baik.
Uji
pH daging. Berdasarka hasil pengamatan yang dilakukan
terhadap uji pH daging diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel
3.2 pH daging
No
|
sampel
|
|
pH
|
|
Rata-rata
|
I
|
II
|
III
|
|||
1
|
Daging1
|
6,2
|
6,3
|
6,4
|
6,3
|
2
|
Daging 2
|
6,5
|
6,6
|
6,3
|
6,46
|
pH daging pada pengamtan uji pH
daging diperoleh hasil dengan rata-rata 6,3 untuk daging 1 dan 6,46 untuk
daging 2. Menurut Soeparno (2005), derajat keasaman pH mempunyai terhadap mutu
daging. Daging yang derajat keasamannya 5,1 sampai 6,1 berwarna merah cerah,
cita rasa baik, tidak mudah rusak, dan punya struktur yang terbuka, sedangkan
daging yang mempunyai pH 6,2 sampai 7,2 berwarna merah tua, rasanya kurang
enak, lebih mudah busuk, dan strukturnya padat. pH Ultimat normal daging
postmortem adalah sekitar 5,4 sampai 5,8 yang sesuai titik isoelektrik sebagian
besar protein daging termasuk protein miofibril. Jadi daging yang diamati
berada diatas kondisi normal, sehingga dapat disimpulkan daging tersebut kurang
baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi stress
sebelum pemotongan antara lain injeksi hormon/obat-obatan, spesies, individu
ternak dan macam otot, stimulasi listrik, aktivitas enzim dan terjadinya
glikolisis (Nurwantoro et al, 2003).
Uji
susut masak. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
terhadap uji susut masak diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel
3.3 Susut masak daging
No
|
Sampel
|
Berat awal
|
Berat ahir
|
Susut masak (%)
|
1
|
Daging 1
|
25,89
|
14,70
|
43,2
|
2
|
Dagi ng 2
|
25,70
|
14,31
|
44,3
|
Berdasarkan praktikum, didapat hasil rata-rata untuk
nilai susut masak daging sapi. Sampel satu memiliki susut masak sebesar 43,2%
dan sampel dua memiliki susut masak sebesar 44,3%. Susut masak berkisar antara
1,5 – 54,5% (Nurwantoro et al, 2003). Jadi daging tersebut berada dalam kondisi
normal dan kualitas baik. Menurut Lawrie (1998), faktor-faktor yang
mempengaruhi kehilangan lelehan (weep) atau (drip) dari daging yang dimasak juga dapat digunakan untuk kapasitas
memegang air dari daging yang dimasak. Kehilangan yang disebabkan oleh
pengkerutan pada waktu memasak akan lebih besar jumlah kehilangan ditentukan
oleh kondisi-kondisi luar misalnya metode, waktu dan suhu pemasakan, karena
suhu tingga yang terlibat akan menyebabkan denaturasi protein dan banyak menurunkan
kapasitas memegang air
Menurut Suryati et., al (2006), susut masak menunjukkan
perbedaan nyata, selama pemasakan daginga akan membuat jaringan ikat kolagen
mengalami perubahan menjadi gelatin. Sebelum mengalami gelatin serabut kolagen
jaringan iakt mengalami pengkerutan dan menekan keluar cairan yang terkandung
dalam protein miofibril.
Uji
daya ikat air (DIA). Berdasarkan pengamatna yang dilakukan
terhadap ji daya ikat air, diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel
3.4 Hasil uji daya Ikat Air
Sampel
|
Kadar
air basah
|
Kadar
air total
|
%DIA
|
||||
Luas
air basah
|
Mg H2O
|
KAB
|
berat
sebelum oven
|
berat
stelah oven
|
KAT
|
||
Daging
Sapi
|
25 cm
|
350,4
|
75,2
|
1 gram
|
1,64
gram
|
84%
|
8,8%
|
Daya ikat air yang diperoleh dari
hasil praktikum yaitu 8,8%. Rata-rata daya ikat air daging yaitu 84,46 % ± 5,8
(Naibaho, 2013). Jadi dapat disimpulkan daging tersebut memiliki kualitas yang
kurang baik.Daya ikat air dipress denagn menggunakan beban 35 kg, metode ini
sesuai dengan metode Hamm (1972) karena dengan beban tersebut air daging yang
bebas dapat bebas secara sempurna setelah pengepresan dilakukan. Menurut
Soeparno (2005), Mg H2O sangat bergantng dengan jumlah area basah.
Hasil praktikum menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai area basah maka kadar
air bebas juga semakin besar. Pemasakan menyebabkan perubahan adanya
solubilitas protein daging. Temperatur tinggi meningkatkan protein dan
menurunkan DIA. Suhu yang digunakan pada praktikum adalah 1050 selama
24 jam, hal ini karena berat daging telah konstan. Hal-hal yang dapat
mempengaruhi DIA adalah pemasakan dengan cara dioven, temperatur antara 30
sampai 400C, protein miofibrilmulai mengalami koagulasi sempurna
pada suhu 600C juga menghasilkankenyataan jus daging yang lebih
kecil dari pada pemasakan suhu 1050C.
Uji
keempukan daging. Berdasarka hasil pengamatan pada uji keempuka
daging, diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel
3.5 Hasil uji keempukan daging
No
|
Sampel
|
|
Keempukan
|
|
Rata-rata
|
|
|
I
|
II
|
III
|
|
1
|
Daging 1
|
6,6
|
6,6
|
7,5
|
6,9
|
2
|
Daging 2
|
5,2
|
4,9
|
5,4
|
5,16
|
Pengujian keempukan daging, sampel yang digunaka dari uji
susut masak dipotong searah serat dan dengan ukuran tenal 0,67, lebar 1,5 cm
(kedua sampel). Pengujian dilakkukan di tiga bagiandan dihasilkan rata-rata 6,9
untuk sampel daging 1 dan 5,16 untuk sampel daging 2. Menurut Lawrie (1998)
daging yang alot memiliki nilai 8,343. Perbedaan ini dapat terjadi karena
beberapa sebab, misalnya pada kelompok 4 pada saat pengujian di Warner-Blatzer
memotong seratnya dipinggir, atau pada waktu pemotongan masih panas seratnya
sehinggga seratnya masih mengembang dan menyebabkan daging empuk.
Menurut Soeparno (2005), keempukan
bervariasi di antara spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan
karkas, dan di antara otot, serta pada otot yang sama. Dging segar yang telah
mengalami pelayuan biasanya mengalami peningkatan keempukan dan flavour daging.
Hubungan antara pH, DIA, susut masak dan keempukan meliputi penyimpangan nilai
pH akan menunjukkan penyimpangan terhadap kualitas daging karena berkaitan
dengan warna.
Daging sebagai sumber
protein hewani memiliki nilai hayati yang tinggi, komposisi daging relatif
mirip satu sama lain, yaitu mengandung 19% protein, 5% lemak, 70% air, 3,5%
zat-zat non protein dan 2,5% mineral dan
bahan-bahan lainnya (Purnomo, 1998), Protein merupakan komponen kimia
terpenting yang ada di dalam daging. Protein yang terkandung di dalam daging,
seperti halnya susu dan telur, sangat tinggi mutunya.
Komposisi daging menurut Lawrie (1998) terdiri
atas 75% air, 18% protein, 3,5% lemak
dan 3,5% zat-zat non protein yang dapat larut. Secara umum, komposisi kimia daging terdiri atas 70% air, 20%
protein, 9% lemak dan 1% abu. Jumlah ini
akan berubah bila hewan digemukkan yang akan menurunkan persentase
air dan protein serta meningkatkan
persentase lemak (Maruddin, 2004).
KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang
dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
warna daging yang diuji dengan meatcolourstandard
menunjukkan daging pada warna No. 3. Warna tergantung dari konsentrasi
mioglobin. Uji pH daging sapi pertama dan daging sapi kedua menunjukan
rata-rata pH sebesar 6,3. Uji susut masak adalah 43,2%. Daya ikat air daging
adalah 8,8 %. Daging sapi pertama memiliki nilai keempukan sebesar 6,9 sedangkan
daging sapi kedua memiliki nilai keempukan sebesar 5,10. Jadi kedua jenis daging yag diamati merupakan jenis
daging yang kurang baik, karena memiliki pH yang tinggi, daya ikat air yang
rendah, susut masak tinggi dan nilai keempukan rendah.
DAFTAR
PUSTAKA
Lawrie,
R.A. 1998. Ilmu Daging Edisi Kelima. Penerjemah Aminuddin Parakkasi.
Universitas Indonesia. Jakarta
Maruddin,
F. 2004. Kualitas Daging Sapi Asap pada Lama Pengasapan dan Penyimpanan. Jurnal
Sains Teknologi.
Muchtadi,
D., Nurheni, SP., Astawan. 1992. Metode Kimia Biokimia dan Biologi dalam
Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan.
PAU pangan dan Gizi IPB Bogor.
Nurwantoro,
et al. 2003. Buku Ajar Dasar Teknologi Hasil Ternak. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Purnomo,
H. 1998. Dasar–dasar Pengolahan dan Pengawetan Daging. PT Grasindo. Jakarta.
Soeparno.
2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Suryati,
Budi A.N, Srikandi. 2006. Supplement to meat Inspectioan. Rig by Publisher
Limited. Adelaide.
LAMPIRAN
Perhitungan:
Uji susut masak:
Kadar
air bebas = Luas area bebas (cm2)
0,0948
= 25
0,0948
= 255,7
Sehingga
kadar air bebas dapat dihitung sebagai berikut:
Kadar
Air Beabas = mgH2O x 100%
Berat daging
(mg)
= 255,7 x 100%
340
= 75,2
Kadar Air Total
KAT = X+Y-Z
x 100%
X
= 1+0,64-0,34 x100%
0,34
= 81%
DIA
DIA
= Kadar air total – kadar air bebas
= 81% - 75,2%
= 8,8%
ACARA
IV
PEMBUATAN
DENDENG
TINJAUAN
PUSTAKA
Daging adalah semua bagian
tubuh ternak yang dapat dan wajar dimakan termasuk jaringan-jaringan dan organ
tubuh bagian dalam seperti hati, ginjal, dan lain-lain. Soeparno (2005)
mendefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan
jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan
kesehatan bagi yang memakannya. Dengan didasarkan pada definisi tersebut maka
organ-organ dalam (jeroan) dan produk olahan seperti corned termasuk dalam
kategori daging. Namun demikian sering dalam kehidupan sehari-hari yang disebut
dengan daging adalah semata-mata jaringan otot, meskipun benar bahwa komponen
utama penyusun daging adalah otot, tetapi tidaklah sama otot dengan daging.
Dendeng merupakan salah satu
bentuk hasil olahan pengawetan daging secara tradisional dan telah banyak
dilakukan oleh masyarakat Indonesia sejak dulu. Menurut SNI 01-2908-1992 (Badan
Standarisasi Nasioanal, 1992), dendeng merupakan produk makanan berbentuk
lempengan yang terbuat dari irisan atau gilingan daging segar yang telah diberi
bumbu dan dikeringkan. Dendeng memiliki cita rasa yang khas, yaitu manis agak
asam dan warna yang gelap akibat kadar gulanya yang cukup tinggi. Kombinasi
gula, garam, dan bumbu-bumbu menimbulkan bau khas pada produk akhir (Purnomo,
1996).
Dendeng dapat dikategorikan
sebagai bahan pangan semi basah karena dendeng memiliki kadar air yang berada
dalam kisaran kadar air bahan pangan semi basah, yaitu 25%. Bahan pangan semi
basah merupakan campuran suatu bahan pangan ang pada umumnya ditambah dengan
bahan pengikat air yang dapat menurunkan daya ikat air produk, sehngga
pertumbuhan mikroorganisme terhambat (Purnomo, 1996). Bahan pangan semi basah
memiliki aktivitas air antar 0,6 sampai 0,91 (Salguero et al, 1994). Purnomo
(1996) mengemukakan, ditinjau dari cara pembuatanya, dendeng dikelompokan
menjadi dendeng iris (slicer) dan giling. Komposisi bahan yang digunakan dalam
pembuatan dendeng alah daging, gula merah (30%), garam (5%), ketumbar
(2%), bawang putih (2%), sendawa (0,2%),
lengkuas (1%), dan jinten (1%) (Hadiwiyoto, 1994). Selama pembuatan dan
pengeringan akan terjadi pula pembentukan komponen-komponen citarasa, yang akan
menambah rasa dan aroma dendeng menjadi lebih sedap.
Penambahan garam berfungsi
sebagai pengawet karena dalam jumlah yang cukup, garam dapat menyebabkan
autolysis dan pembusukan serta plasmolisis pada mikroba. Garam meresap kedalam
jaringan daging sampai tercepai keseimbangan tekanan osmosis antara bagian dalam
dan luar daging (Soeparno, 2005). Selain sebagai penghambat bakteri, garam juga
dapat merangsang cita dan penambahan raPenambahan gula merah berfungsi untuk
memodifikasi rasa, memperbaiki aroma, warna dan tekstur produk (Lawrie, 1998).
Penambahan gula merah pada
abon membuat flavor abon yang khas dan disukai banyak konsumen karena rasa
manisnya. Selain itu, gula merah juga dapat menghambat pertumbuhan mikroba.
Kadar gula yang tinggi, yaitu pada konsentrasi 30-40% akan menyebabkan air
dalam sel bakteri, ragi, dan kapang akan keluar menembus membrane dan mengalir
ke larutan gula, yang disebut osmosis dan mentebabkan sel mikroba mengalami
plasmolisis dan pertumbuhannya akan terhambat (Winarno et al, 2004).sa enak
pada produk.
Bawang merah digunakan untuk
bahan bumbu dapur dan sebagai penyedap rasa dalam masakan. Selain itu bawang
merah juga dapat digunakan sebagai obat tradisional karena memiliki efek
antiseptik dari senyawa ailin. Senyawa tersebut diubah menjadai asam piruvat,
ammonia, dan alicin antimikroba yang bersifat bakterisida (Hadiwiyoto, 1994).
Ketumbar adalah
rempah-rempah kering berbentuk bualat dan berwaarna kuning kecoklatan, memiliki
rasa gurih dan manis, berbau harum, dan dapat membangkitkan kesan sedap di
mulut (Farrell, 1990). Ketumbar memiliki aroma rempah-rempah dan terasa pedas.
Minyak dari biji ketumbar terutama mengandung d-linalol, stironelol,
bermacam-macam ester, keton, dan aldehida. Lengkuas memiliki dua warna, yaitu
putih dan merah, dan dua ukuran, yaitu kecil dan besar. Lengkuas mengandung
beberapa minyak atsiri, diantaranya kamfer, galang, galangol, philandren, dan
mungkin juga curcumin. Minyak atsiri tersebut menghasilkan aroma yang khas
(Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Pengeringan adalah suatu
cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan
dengan cara menguapkannya dengan menggunakan energi panas (Winarno et al,
1984). Prisip pengeringan yaitu mengurangi kadar air bahan sehingga aktivitas
mikroorganisme menurun. Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet
dengan volume menjadi lebih kecil, berat bahan berkurang. Kerugian yang terjadi
yaitu perubahan sifat fisik dan kimia dari suatu produk. Teknik-teknik
pengawetan dengan pengeringan menyangkut: 1) Pembatasan aktivitas air dengan
pengeringan; 2) Penggunaan garam dan gula untuk mengendalikan kegiatan air
lebih lanjut dan berfungsi sebagai penghambat selektif terhadap kegiatan enzim
dan mikroorganisme; 3) Penggunaan bumbu-bumbu untuk membatasi perkembangan
selanjutnya dari mikroorganisme dan untuk memberikan rasa yang khas (Lawrie,
2003). Pengeringan juga berperan dalam menciptakan tekstur dan kekenyalan yang
khas pada dendeng.
MATERI
DAN METODE
Materi
Alat. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan dendeng
adalah pisau, chopper, keranjang peniris, penggiling bumbu, timbangan, dan
kompor.
Bahan. Bahan-bahan yang digunakan adalah daging sapi segar
125 gram, gula merah 31,25 gram, asam jawa 1,25 gram, bubuk ketumbar 6,25 gram,
lengkuas 1,25 gram, garam 2,5 gram dan bawang putih 1,25 gram.
Metode
Metode yang digunakan dalam
praktikum ini yaitu daging sapi yang sudah halus ditimbang sebanyak 250 gram
dan dimasukkan ke dalam baskom. Bumbu-bumbu ditimbang sesuai resep, yaitu
lengkuas 1%, garam 2%, bawang putih 1%, gula merah 25%, asam jawa 1% dan
ketumbar 5%. Semua bumbu yang sudah halus dicampurkan ke dalam baskom lalu
diaduk selama kurang lebih 10 menit sampai adonan benar-benar rata. Adonan yang
sudah tercampur rata kemudiaan diletakkan diatas kertas aluminium foil kemudian
ditipiskan di atas loyang sampai kurang lebih tebalnya 3 mm. adonan yang sudah
ditipiskan dijmur di bawah sinar matahari slama 7 jam/hari selama 3 hari.
Pngeringan juga dapat mnggunakan oven, setelah kering dendeng dapat diolah
lebih lanjut dan dikemas.
Uji sensoris. Produk dendeng diuji sensoris sesuai dengan kriteria
yang ada dan dibandingkan dengan kontrol produk yang berasal dari pabrik.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Dendeng merupakan produk
makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan atau gilingan daging segar
yang telah diberi bumbu dan dikeringkan. Dendeng memiliki cita rasa yang khas,
yaitu manis agak asam dan warna yang gelap akibat kadar gulanya yang cukup
tinggi. Kombinasi gula, garam, dan bumbu-bumbu menimbulkan bau khas pada produk
akhir (Purnomo, 1996).
Berdasarkan hasil praktikum
pada pembuatan denden diperoleh hasil, sebagai berikut:
Tabel
4.1 Pembuatan Dendeng
Bahan
|
Berat
(gram)
|
Persentase
(%)
|
daging
|
125
|
65
|
garam
|
2,5
|
2
|
gula merah
|
31,25
|
25
|
bawang putih
|
1,25
|
1
|
asam jawa
|
1,25
|
1
|
Ketumbar
|
6,25
|
5
|
Lengkuas
|
1,25
|
1
|
Total
|
168,75
|
35
|
Menurut Hadiwiyoto (1994), ditinjau dari cara
pembuatanya, dendeng dikelompokan menjadi dendeng iris (slicer) dan giling.
Komposisi bahan yang digunakan dalam pembuatan dendeng alah daging, gula merah
(30%), garam (5%), ketumbar (2%), bawang
putih (2%), sendawa (0,2%), lengkuas (1%), dan jinten (1%).Berdasarkan pada
praktikum yang dilakukan pembuatan dendeng menggunakan daging yang sudah
digiling kemudian decampur dengan bumbu-bumbu yang telah disediakan.
Bumbu-bumbu yang digunakan pada praktikum sedikit berbeda dengan literatur, karena
tidak menggunakansendawa dan jinten.
Menurut Soeparno (2005),
dendeng merupakan salah satu bahan pangan yang bergizi tinggi disamping telur,
susu dan ikan. Komposisi yang terdiri dari 75% air, 18% protein, 4% protein
yang dapat larut (termasuk mineral) dan 3% lemak. Ternak rata-rata menghasilkan
karkas 55%. Daging yang baik ditentukan warna, bau, penampakkan, dan
kekenyalan. Menurut Winarno (2004), daging yang sudah dijadikan dendeng akan
lebih tahan lama. Produk jenis ini membutuhkan bahan tambahan dalam proses
pembuatannya. Bumbu yang ditambahkan pada daging olahan tersebut berperan
sebagai penambah cita rasa, pengawetan, pewarna dan anti oksidan.
Pengawetan daging merupakan
suatu cara menyimpan daging untuk jangka waktu yang cukup lama agar kualitas dan
kebersihannya tetap terjaga. Beberapa cara pengawetan daging yitu pendinginan,
pelayuan, pengasapan, pengeringan, pengalengan, dan pembekua (Winarno, 2004).
Pengawetan dengan cara pengeringan dilakukan dengan cara penambahan garam,
gula, dan bahan kimia seperti nitrat (NO3) dan nitrit (NO2).
Penambahan garam untuk pengawetan daging kira-kira sepersepuluh dari berat
daging. Disamping sebagai pengawet garam juga berfungsi sebagai penambah rasa
(Winarno, 2004). Menurut Dewi (2008), Nitrat dan nitrit ditambahkan pada
pembuatan dendeng untuk menhasilkan warna merah cerah dan menghambat
perkembangan mikrobia. Lengkuas, ketumbar, dan bwang putih merupaka bumbu yang
umum ditambahkan pada dendeng dan memiliki aktivitas untuk antioksidan.
Fungsi penambahan
bahan-bahan (bumbu) secara keseluruhan yaitu untuk cita rasa, aroma dan warna,
slain itu bumbu juga digunakan sebagai pengawet. Menurut Soeparno (2005),
penambahan garam berfungsi sebagai pengawet karena dalam jumlah yang cukup,
garam dapat menyebabkan autolysis dan pembusukan serta plasmolisis pada
mikroba. Garam meresap kedalam jaringan daging sampai tercepai keseimbangan
tekanan osmosis antara bagian dalam dan luar daging, selain sebagai penghambat
bakteri, garam juga dapat merangsang cita dan penambahan rasa enak pada produk.
Menurut Aberle et al. (2001) garam yang ditambahkan pada daging yang digiling
akan meningkatkan protein myofibril yang terekstraksi. Protein ini memiliki
peranan penting sebagai pengemulsi. Fungsi garam adalah menambahakan atau
meningkatkan rasa dan memperpanjang umur simpan produk. Menurut Potter (1996)
Garam juga bersifat bakteriostatik dan bakteriosidal, sehingga mampu menghambat
pertumbuhan bakteri dan mikroba pembusuk lainnya Garam mampu memperbaiki
sifat-sifat fungsional produk daging dengan cara mengekstrak protein
miofibriler dari serabut daging selama proses penggilingan dan pelunakan
daging.
Pembuatan dendeng
menggunakan bahan-bahan diantaranya gula merah dan asam jawa. Penambahan gula
pada dendeng berfungsi untuk melunakkan melalui jalan mencegah penguapan air
dan tidak begitu kering sehingga lebih disukai konsumen (Soeparno, 2005).
Penambahan gula merah pada dendeng berfungsi memodifikasi rasa, memperbaiki
aroma, warna dan tekstur produk. Kadar gula yang tinggi, yaitu pada konsentrasi
30-40% akan menyebabkan air dalam sel bakteri, ragi dan kapang akan keluar
menembus membran dan mengalir ke dalam larutan gula, yang disebut osmosis dan
menyebabkan sel mikroba mengalami plasmolisis dan pertumbuhannya akan terhambat
(Winarno, 2004).
Bawang putih dapat digunakan
sebagai bahan pengawet karena bersifat bakteriostatik yang disebabkan oleh
adanya zat aktif alicin yang sangat efektif terhadap bakteri, selain itu bawang
putih mengandung scordinin, yaitu senyawa komplek thioglisidin yang bersifat
antioksidan (Palungkun dan Budhiarti, 1995). Ketumbar adalah rempah-rempah
kering berbentuk bualat dan berwaarna kuning kecoklatan, memiliki rasa gurih
dan manis, berbau harum, dan dapat membangkitkan kesan sedap di mulut (Farrell,
1990). Lengkuas memiliki dua warna, yaitu putih dan merah, dan dua ukuran,
yaitu kecil dan besar. Lengkuas mengandung beberapa minyak atsiri, diantaranya
kamfer, galang, galangol, philandren, dan mungkin juga curcumin. Minyak atsiri
tersebut menghasilkan aroma yang khas (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Teknik pengeringan dendeng
akan menentukan lama pengeringan dan biaya produksi . Suatu penelitian yang
mengamati cara pengeringan dendeng yakni antara yang dikeringkan dengan sinar matahari
dan dioven dengan suhu 60°C tidak mendapatkan pengaruh yang nyata terhadap mutu
gizi clan preferensi dendeng (Purnomo,1996). Menurut Prayitno et al. (2012)
Cara pengeringan dengan sinar matahari. Keuntunganya adalah murah, bersih dan
sederhana tetapi kerugianya yaitu sangat tergantung pada cuaca. Pengeringan
dapat dilakukan dengan oven pengering pada suhu dan waktu pengeringanya dapat
diatur serta kontaminasi oleh bakteri dapat dicegah namun hal ini menambah
biaya produksi. Pengeringan dengan sinar matahari membutuhkan waktu kurang
lebih 22 jam sehingga dibutuhkan waktu 2 sampai 3 hari untuk mendapatkan
dendeng kering. Pengeringan dengan sinar matahari yang mendekati itu adalah
jika menggunakan oven pengerin pada suhu 500C. Proses ini memerlukan waktu kurang lebih 15
jam.
Kadar air yang dikurangi
pada bahan pangan mengakibatkan kandungan protein, karbohidrat, lemak dan
mineral dalam konsentrasi yang lebih tinggi akan tetapi vitamin–vitamin dan zat
warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang . Proses pembuatan dendeng dan
penambahan bumbu-bumbu menimbulkan reaksi maillard. Reaksi Maillard terjadi
antara gugus amin (asam amino) dan gula pereduksi (gugus keton atau
aldehidnya). Pada akhir reaksi terbentuk pigmen coklat melanoidin yang memiliki
bobot molekul besar. Reaksi yang diawali dengan reaksi antara gugus aldehid
atau keton pada gula dengan asam amino pada protein ini membentuk glukosilamin.
Selain gugus aldehid/keton dan gugus amino, faktor yang memengaruhi reaksi
Maillard, adalah suhu, konsentrasi gula, konsentrasi amino, pH, dan tipe gula.
Berkaitan dengan suhu, reaksi ini berlangsung cepat pada suhu 100oC namun tidak
terjadi pada suhu 150oC.
Uji
sensoris. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan terhadap praktikum pembuatan dendeng dan dilakukan
uji sensoris, maka diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel
4.2 Uji Sensoris
No
|
Parameter
|
Hasil
|
Kontrol
|
1
|
Warna
|
Coklat
|
Coklat kemerahan
|
2
|
Rasa
|
Enak
|
Enak
|
3
|
Tekstur
|
Kasar
|
Lembut
|
4
|
Keempukan
|
Kurang empuk
|
Empuk/pas
|
5
|
Daya Terima
|
Diterima
|
Diterima
|
Berdasarkan praktikum
yang telah dilakukan diketahui dendeng yang dibuat memiliki warna coklat dengan
tekstur sedikit lebih keras, rasaenak, keempuka
pas,
dan rasa agak manis serta
daya terima dapat diterima. Dendeng kontrol memiliki warna coklat lebih terang
dengan rasa enak, tekstur kasar, dan rasa enak
serta daya terima dapat diterima. Ciri-ciri dendeng yang baik adalah warna dendeng merah coklat sampai coklat, bersih, aromanya sedap, tekstur tidak liat, agak kering, dan rasa agak manis dan gurih (Widati dkk, 1997). Daya terima dendeng hasil praktikum dengan dendeng kontrol
masing-masing dapat diterima.
KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang
dilakukan terhadap pembuatan dendeng dapat disimpulkan bahwa dendeng merupakan
produk olahan daging secara tradisional yang merupakan kombinasi kyuring dan
pengeringan. Bahan dasar yang digunakan yaitu daging sapi segar, garam,
lengkuas, bawang putih, gula merah, asam jawa dan ketumbar. Persentase
komposisi bahan yang digunakan dapat menyesuaikan sesuai keinginan
konsumen/standar dari pabrik. Semua bahan dicampur dan digiling tipis kemudian
dikeringkan, dendeng siap digoreng dan disajikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Aberle,
H. B. Forrest, J. C., E. D. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel.
2001.Principle of Meat Science. 4th
Edit. Kendal/Hunt Publishing, lowa.
Dewi,
E. N., dan ratna Ibrahim. 2008. Mutu dan Daya Simpan Fillet Dendeng Ikan Nila
Merah yang Dikemas Hampa Udara dengan Vacum Seder skala Rumah Tangga. Fakultas
perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Dipenogoro. Semarang.
Farrel,
K.T. 1990. Spices, Condiments and Seasoning 2nd Ed. Van Nostrad Reinhold, New
York .
Hadiwiyoto,
S. 1994. Studi Pengolahan Dendeng dengan Oven Pengering Rumah Tangga. Buletin
Peternakan. 18:119-126.
Lawrie,
R. A. 2003. Ilmu daging. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Muchtadi,
T.R. dan Sugiyono, 1994. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor .
Purnomo,
H. 1996. Dasar-dasar Pengolahan dan Pengawetan Daging. PT Grasindo, Jakarta.
Prayitno,A.H.,
D.P.A. Saputra, A. Kurniati, H.Widyastuti, R. R. Utami,Soeparno dan Rusman.
2012. Pengaruh metode pembuatan
pengeringan yang berbeda terhadap
karakteristik Fisik ,kimia dan sensoris dendeng daging kelinci.Buletin
Peternakan. Hal 113-121.
Soeparno.
2005. Ilmu dan Tknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Widati, A.S., M. E. Sawitri, I. Thohari, 1997. Peningkatan
Daya Guna Daging Ayam Petelur Afkir Sebagai Produk Dendeng di Kabupaten Blitar.
Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya, Malang.
Winarno
F G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT
Gramedia, Jakarta.
ACARA
V
PEMBUATAN
BAKSO
TINJAUAN
PUSTAKA
Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang dibuat dengan cara
melumatkan daging kemudian mencampurnya dengan bumbu-bumbu, pati dan air. Campuran
tersebut kemudian dibentuk bulat-bulat, lalu dimasak dalam air panas (Lestari,
1991).
Bakso merupakan produk
olahan daging yang sangat digemari masyarakat Indonesia. Pada umumnya bakso
dibuat dari daging sapi atau babi (Lestari,1991). Bakso adalah olahan daging
yang dibuat dengan cara melumatkan daging lalu mencampurkan dengan bumbu-bumbu,
filler, air dan bahan tambahan,
kemudian direbus dengan air panas (Soeparno, 2005). Biasanya bakso disajikan
dalam keadaan panas.
Bakso sesungguhnya merupakan
bulatan-bulatan yang terbuat dari daging sapi dan tepung tapioca, namun dalam
perkembangannya kemudian sebutan bakso menunjukkan keseluruhan adonan
bulatan-bulatan daging beserta kuah, mie, dan bahan lainnya (Lestari, 1991).
Bakso merupakan salah satu bentuk hasil olahan ternak yang berasal dari daging
dan biasanya disajikan dalam keadaan panas (Lestari, 1991).
Komposisi utama bakso adalah
daging ayam, sapi atau ikan. Bahan yang selanjutnya adalah es yang berfungsi
sebagai pelarut adonan agar lembut dan menjaga suhu agar tetap dingin sehingga
protein dan komponen lain penyusun adonan tidak mudah rusak. Komponen yang
selanjutnya adalah tepung / filler
yang berfungsi untuk mengisi atau membentuk adonan. Tepung juga berfungsi
sebagai penahan air sehingga air tidak mudah lepas. Bumbu yang diperlukan dalam
pembuatan bakso antara lain adalah garam, gula, bawang putih, merica dan
penyedp rasa. (Yuyun, 2007).
MATERI DAN
METODE
Materi
Alat.
Alat yang digunakan dalam praktikum pembuatan sosis dan bakso adalah pisau,
telenan, timbangan elektrik, chopper,
stuffer, kompor, panci, chopper
dan nampan.
Bahan.
Bahan yang digunakan dalam praktikum pembuatan sosis dan bakso adalah daging
sapi, susu skim bubuk, bawang putih, merica/lada, ketumbar, air es, gula,
tepung tapioka dan chasing plastik.
Metode
. Bahan-bahan penunjang dan bumbu-bumbu terdiri dari
garam 10 gram, merica 3 gram, bawang putih 3 gram, bawang merah goreng 10 gram,
misonyal 0,75 gram, tepung tapioka 62,5 gram, dan air es 37,5 gram dibuat
tekturnya halus. Daging dan bahan-bahan penunjang dan bumbu dicampurkan dengan
menggunakan tangan dan dilanjutkan dengan menggunakan chopper. Adonan dibentuk
bulat-bulat dan direbus pada air panas suhu mendekati mendidih sampai bakso
mengapung ke permukaan. Bakso diangkat dan didinginkan dan siap untuk dikonsumsi
atau dimasak lebih lanjut.
Uji
sensoris. Produk bakso di uji organoleptik yaitu
warna, rasa, tekstur keempukan dan daya terima. Lalu dibandingkan dengan
kontrol produk yang berasal dari pabrik.
Uji
keempukan. Pengukuran keempukan dilakukan dengan menggunakan
alat penetrometer merek K.I.C. Sampel
diletakkan di bawah jarum penetrator dimana jarum penunjuk disiapkan pada angka
0. Besarnya angka keempukan dapat diketahui dengan membaca angka pada alat
dikalikan dengan 1/10 mm.
Uji
pH. Pengukuran niali pH
dilakukan dengan mengukur pH sampel sosis dengan menggunakan pH meter dan
larutan buffer pH 7,0. Bandingkan hasil yang di dapat dengan kontrol.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Bakso merupakan salah satu
produk olahan daging sacra tradisional. Bahan baku pembuatan bakso bisa bersala
dari dari berbagai jenis ternak, seperti sapi, babi, ayam dan ikan (Purnomo,
1996). Menurt Soeparno (2005), komposisi pembuatan bakso adalah daging sapi.
Daging sapi digiling halus dan diberi garam. Garam dan merica merupakan bahan
penyedap utama dalam pembuatan bakso. Bumbu-bumbu penunjang lainnya adalah
bawang merah goreng, teoung tapioka, bawang putih, misonyal, dan penyedap.
Berdasarkan praktikum pembuatan
bakso diperoleh data bahan dan persentase pembuatan bakso adalah sebagai
berikut:
Tabel
5.1 Data bahan dan persentase pembuatan bakso
No.
|
Bahan
|
Berat
|
presentase
|
1
|
Daging
sapi
|
250
gram
|
100%
|
2
|
Garam
|
10
gram
|
4%
|
3
|
Merica
|
3
gram
|
1,2%
|
4
|
Bawang
putih
|
3
gram
|
1,2%
|
5
|
Bawang
goreng
|
10
gram
|
4%
|
6
|
Misonyal
|
0,75
gram
|
0,3%
|
7
|
Tepung
tapioka
|
6,
25 gram
|
25%
|
8
|
Air
es
|
27
gram
|
|
Jumlah bahan
|
366,25
gram
|
|
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum
pembuatan bakso terdiri dari daging sapi giling 25 gram, garam 10 gram, merica
3 gram, bawang putih 3 gram, bawang goreng 10 gram, misonyal 0,75 gram, tepung
tapioka 6,25 gram, dan air es 27 gram. Menurut Hatta (2012), formulasi dasar
bakso yang digunakan adalah daging sapi 70%, es batu 20%, tepung tapioka 10%,
garam sesuai yang diperlukan, dan bumbu linnya 1%.
Bahan
pengisi (filler) adalah bahan yang
mampu mengikat sejumlah air, tetapi mempunyai pengaruh yang kecil terhadap
emulsifikasi, Filler mengandung banyak karbohidrat. Bahan pengisi yang biasa
ditambahkan adalah tepung gandum, jagung atau beras (Soeparno, 2005). Contoh
filler yang digunakan pada praktikum ini adalah tepubg tapioka. Extender dapat membantu stbilitas emulsi
bakso, memperbesar hasil pemasakan, membantu sifat-sifat irisan, dan mengurangi
biaya dalam pembuatan produk olahan daging (bakso).
Dalam pembuatan bakso sering
ditambahkan isolated soya protein.
Penambahan bahan ini berfungsi sebagai bahan binder atau pengikat yang
berfungi sebagai pengikat antara minyak
dan air. Selain itu juga berfungsi untuk mempertahankan kandungan air dalam
adonan sehingga adonan menjadi kompak dan lembut (Yuyun, 2007). Contoh binder yang sring digunaka pada
pembuatan bakso adalah misonyal.
Air merupakan komponen yang
terbesar dalam bakso. Besarnya air yang terkandung dalam bakso tergantung dari
banyaknya air yang ditambahkan dalam adonan dan proporsi daging yang digunakan
(Triatmojo, 1992). Penambahan air ini juga berfungsi untuk meningkatkan
keempukan, jus daging dan menggantikan sebagian air yang hilang selama prossesing
panas (Soeparno, 2005).
Penambahan es batu juga bertujuan agar tidak
terjadi denaturasi protein dan menyebabkan kejutan temperatur yang berakibat
kontraksi mendadak dari serabut otot daging sehingga terjadi kekenyalan khusus
(Setiyono,1992). Bumbu yang
digunakan berfungsi sebagai penyedap rasa dan anti oksidan . Penambahan
bumbu-bumbu erat kaitannya denga selera konsumen. Bahan penyedap dan bumbu,
misalnya pala dan bawang putih mempunyai pengaruh preservatif terhadap produk
daging karena mengandung lemak (lemak esensial dan substansif yang bersifat bakteriostatik). Bumbu sebagian
mempunyai sifat sebagai antioksidan sehingga dapat menghambat terjadinya
ransiditas. Penambahan bahan penyedap dan bumbu-bumbu terutama ditujukan untuk
meningkatkan flavor (Soeparno, 2005). Rempah-rempah seperti bawang putih dan lada
mempunyai efek pengawetan karena efek bakteriostatiknya (Rukamana, 2001).
Bumbu-bumbu yang serimg digunakan dalam pembuatan bakso adalah bawang merah,
bawang putih, lada, monosodium glutamat, dan hidroksilat protein tanaman (Lestari,
1991).
Uji sensoris. Berdasarkan
praktikum pembuatan bakso yang telah dilakukan, diperoleh hasil uji sensoreis
sebagai berikut:
Tabel
5.2 Uji sensoris bakso
No
|
Parameter
|
Hasil
|
Kontrol
|
1
|
Warna
|
Coklat
|
Putih
|
2
|
Rasa
|
Terlalu asin
|
Pas
|
3
|
Tekstur
|
Kasar
|
Pas
|
4
|
Keempikkan
|
Terlalu empuk
|
Pas
|
5
|
Daya terima
|
Diterima
|
Diterima
|
Bakso yang berkualitas mempunyai bentuk bulat halus,
ukurannya seragam, bersih, tidak kusam, serta tidak berjamur atau berlendir.Warna bakso diperoleh dalam praktikum adalah abu-abu gelap sedangkan kontrol abu-abu cerah. Warna bakso yang berbeda dapatdisebabkan karena adanya
formulasi yang tergantung pada karakteristik komposisi dan bahan dasar yang
ditambahkan pada produk daging proses (Soeparno, 2005).
Rasa bakso
diperoleh dalam praktikum gurih agak asin, namun
jika dibandingkan dengan kontrol lebih enak bakso kontrolnya. Cita rasa
dikaitkan adanya lemak dan senyawa volatil tertentu. Keseluruhan kesan
palabilitas dipengaruhi oleh jus daging karena pengaruh komponen flavor dan
terjadi fragmentasi serta pelunakan daging selama pengunyahan (Soeparno,
2005).
Tekstur
bakso yang diperoleh dalam praktikum adalah lebih kasar dibandingkan dengan kontrol. Tekstur bakso pada dasarnya
dipengaruhi uleh kualitas dan kuantitas daging yang digunakan, metode
pengolahan dan bahan-bahan yang ditambahkan. Jaringan ikat dan lemak yang
terlalu banyak menyebabkan bakso yang dihasilkan kasar, tidak kompak dan mudah
pecah. Selain itu peran dari filler yang ditambahkan juga mempengaruhi
tekstur bakso yang dihasilkan (Mead dan Richardson, 2003).
Bakso yang diperoleh dalam praktikum adalah empuk dan kontrol. Menurut Suryati (2008),
faktor keempukan diantaranya adalah rabaan oleh tangan, kemudahan dikunyah
serta kerenyahan makanan. Untuk itu cara pemasakan bahan makanan dapat
mempengaruhi keempukan makanan yang dihasilkan.
Bakso kontrol lebih dapat
diterima daripada bakso yang dibuat. Daya terima terhadap suatu makanan
ditentukan oleh rangsangan yang timbul oleh makanan melalui panca indera
penglihatan, penciuman, pencicipan, dan pendengaran. Namun demikian faktor
utama yang akhirnya mempengaruhi daya terima terhadap makanan adalah rangsangan
citarasa yang ditimbulkan oleh makanan (Suryati, 2008).
Uji
pH. Berdasarkan praktikum yang dilakukan
pada pembuatan bakso, diperoleh hasil uji pH adalah sebagai berikut:
Tabel
5.3 Uji pH bakso
No
|
|
|
pH
|
|
|
|
Sampel
|
I
|
II
|
III
|
Rata-rata
|
1
|
Bakso 1
|
6,4
|
6,6
|
6,5
|
6,5
|
2
|
Bakso 2
|
6,5
|
6,6
|
6,6
|
6,5
|
Berdasarkan praktikum yang dilakukan
diperoleh rata-rata nilai pH 6,5 untuk sampel bakso 1 dan bakso 2. Menurut Martin (2001), pH normal bakso adalah antara
5,4 sampai 6,5. Hasil praktikum apabila dibandingkan dengan literatur maka
bakso pertama pH-nya berada pada kisaran normal, hal ini disebabkan faktor perlakuan
pada saat pembuatan, daging yang digunakan serta bumbu-bumbu yang digunakan. Menurut
Lawrie (2003), Bakso adalah salah satu produk emulsi daging yang sangat terkait
dengan kemampuannya dalam mengikat air dan lemak untuk menstabilkan emulsi saat
pengolahan dan penyimpanan. Kisaran normal pH bakso adalah 6,5 sampai 7,2.
Uji
keempukan. Berdasarkan praktikum yang dilakukan pada
pembuatan bakso, diperoleh hasil uji keempukan adalah sebagai berikut:
Tabel
5.4 Uji keempukkan bakso
No
|
Parameter
|
|
keempukan
|
|
Rata-rata
|
I
|
II
|
III
|
|||
1
|
Bakso 1
|
25
|
26
|
26,5
|
25,8
|
2
|
Bakso 2
|
24,2
|
21,3
|
23,4
|
22,9
|
Berdasarkan hasil praktikum
pengukuran keempukan menggunakan alat penetrometer merek KIC denga beban
seberat 10 kg. Hasil uji keempukan rata-rata adalah 25,8 untuk sampel bakso 1
dan 22,9 untk sampel bakso 2. Menurut Martin (2001) nilai keempukan normal bakso adalah
antara 15 sampai 25. Hasil praktikum apabila dibandingkan
dengan literatur maka nilai keempukan sampel kedua bakso masih dalam kisaran normal. Menurut
soeparno (2005), fakrtor yang berpengaruh terhadap nilai keempukan adalah
jaringan ikat dan lemak yang terdapat dalam produk, juga temperatur yang
mempunyai pengaruh bervariasi terhadap daya ikat air oleh protein daging, susut
masak, pH, dan kadar jus daging.
KESIMPULAN
Dari hasil praktikum, dapat
disimpulkan bahwa cara pembuatan bakso yaitu
terdiri dari bahan-bahan daging sapi, garam, merica, bawang putih, bawang
goreng, misonyal (extender), tepung
tapioka (filler), dan air es. Dalam uji Sensoris bakso, diketahui warna bakso coklat, rasa terlalu asin, tekstur kasar, terlalu empuk dengan rata-rata tingkat pH
6,5 dan keempukan 25,8 dan dapat diterima.
Kedua bakso memiliki daya trima yang baik, karena berdasarkan uji sensoris, uji
pH, dan uji keempukan yang dilakukan, hasilnya ada pada kisaran normal,
sehingga kualitas bakso dikatakan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Hattaa,
M dan E. Marpiningrum. 2012. Kualitas daging Sapi denga Penambahan Garam (NaCl)
dan fosfat (Sodium Triposphat/ STTP) pada level dan waktu yang berbeda.
Universitas Hasanuddin. Makasar.
Lawrie,
R.A. 2003. Ilmu Daging Edisi Kelima. Penerjemah Aminuddin Parakkasi.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Lestari, S.1991. Bisnis Bakso yang Menguntungkan. Media Pertanian
DKI, Jakarta
.
Martin. 2001. Fortifikasi Temulawak dalam Pembuatan
Dendeng guna Meningkatkan Nafsu Makan pada Anak. No 12 45 20 vol 21. 21-22
Mead,
G. C. dan Richardson, R. I. 2003. Poultry Meat Science Volume 25. CABI
Publishing. New York : USA.
Purnomo,
H. 1996. Dasar–dasar Pengolahan dan Pengawetan Daging. PT Grasindo. Jakarta.
Setiyono.1992. Kualitas Fisik dan Komposisi Kimia Bakso Daging Sapi, Ayam,
dan Kombinasinya dengan Variasi Aras Sodium Tripoliphospat, Skim milk dan Asam
Askorbat. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta.
Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging,
cetakan 4. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Suryati,
Budi A.N, Srikandi. 2008. Korelasi dan Kategori keempukan Daging berdasarkan
harga daging Berdasarkan hasil Pengujian Menggunakan alat dan parelis. IPB,
Bogor.
Triatmojo, S.
1992 Pengaruh Level Tepung Tapioka dan Daging Terhadap Mutu Bakso Daging Sapi.
Laporan Penelitian UPF Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.
Yudiastuti,
S. 1990. Sifat Fisik dan Sensoris Bakso Ayam Petelur Afkir yang dibuat dengan
Berbagai Waktu Simpan setelah Penyembelihan.Tesis Sarjana. Jurusan Pengolahan Hasil Pertanian. Fakultas Teknik
Pertanian. UGM. Yogyakarta.
Yuyun,
A. 2007. Panduan Wirausaha Membuat Aneka Bakso. Agromedia. Jakarta.
ACARA
VI
PEMBUATAN
SOSIS
TINJAUAN
PUSTAKA
Sosis merupakan makanan yang
dibuat dari daging yang telah dicincang kemudia dihaluskan dan diberi
bumbu-bumbu, dimasukkan kedalam pembungkus buatan, dengan atau tidak dimasak,
dengan atau tanpa diasap (Hadiwiyoto, 1994). Menurut SNI (1995), adalah produk makanan
yang diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari
75%) dengan tepung atau pati dan dengan suatu tanpa penambahan bumbu dan bahan
tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukkan ke dalam selubung sosis.
Soeparno (1998),
mengungkapkan bahwa pada dasarnya ada 5 kelas sosis yang sudah dikenal yaitu
sosis segar, sisis segar yang diasap, sosis masak, sosis kering dan agak kering
serta sosis spesialitas daging masak. Saat ini telah banyak berbagai jenis
inovasi sosis untuk meningkatkan nilai
nutrisi dan mengikuti selera konsumen. Emulsi adalah suatu sistem dua fase yang
terdiri atas suatu dispersi sua cairan atau senyawa yang tidak dapat bercampur,
yang satu terdispersi pada yang lain. Cairan yang berbentuk globula- globula
kecil disebut fase dispersi atau fase diskontinu, dan cairan tempat
terdispersinya globula-globula tersebut disebut fase kontinu. Protein-protein
daging yang terlarut bertindak sebagai pengemulsi dengan membungkus atau
menyelimuti semua permukaan partikel yang terdispersi (Soeparno,2005).
Kandungan air sosis
bervariasi tergantung pada jumlah air yang ditambahkan dan macam daging yang
digunakan. Fungsi air adalah untuk meningkatkan keempukan dan juice (sari
minyak) daging, melarutkan protein yang mudah larut dalam air, membentuk
larutan garam yang diperlukan untuk melarutkan protein laryt garam,berperan
sebagai fase kontinu dari emulsi daging, menjaga temperatur produk serta
mempermudah penetrasi bahan-bahan curing (Soeparno,2005).
Penambahan bahan pengikat bertujuan
untuk meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan daya mengikat air,
meningkatkan citarasa, mengurangi pengerutan selama pemasakan serta mengurangi
biaya formulasi. Bahan pengikat adalah material bukan daging yang dapat
meningkatkan daya mengikat air daging dan emulsifikasi lemak. Bahan pengikat
mempunyai protein yang tinggi. Contoh dari bahan pengikat adalah tepung
kedelai, isolat protein kedelai serta skim bubuk. (Soeparno,2005).
Penyedap adalah berbagai
bahan beik sendiri maupun kombinasi yang ditambahkan pada pembuatan suatu
produk yang dapat menambah rasa pada produk tersebut. Garam dan merica
merupakan bahan penyedap utama dalam pembuatan sosis (Soeparno, 2005). Bumbu
adalah suatu substansi tumbuhan aroatik yang telah dikeringkan dan biasanay
sudah dalam bentuk bubuk. Penambahn bumbu pada pembuatan sosis terutama
ditujukkan untuk menambah/meningkatkan flavor (Soeparno, 2005). Selain menambah
flavor, dalam beberapa hal bumbu juga bersifat bakteriostatik dan antioksidan(Soeparno,
1998).
Selongsong sosis dipakai
untuk menentukan bentuk dan ukuran sosis. Selongsong sosis dapat berfungsi
sebagai cetakan selama pengolahan, pembungkus selama penanganan dan
pengangkutan, serta sebagai media display selama diperdagangkan. Selongsong
sosis harus memiliki sifat kuat dan elastis (Pearson dan Tauber,1984). Menurut
Suryati (2006), ada lima macam selongsong yang biasa digunakan dalam pembuatan
sosis, yaitu: 1) selongsong yang terbuat dari usus hewan, 2) selongsong yang
terbuat dari kolagen, 3) selongsong yang terbuat dari selulosa,4) selongsong
yang terbuat dari plastik, 5) selongsong yang terbuat dari logam.
MATERI
DAN METODE
Materi
Alat.
Alat-alat
yang digunakan dalam praktikum ini adalah sendok, kompor gas, panci, timbangan
elektrik, pisau, stuffer, chopper, dan alat tulis.
Bahan. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sosis
adalah daging sapi, susu skim bubuk, bawang putih, merica/lada, ketumbar,
garam, air es, gula, tepung tapioka, chasing plastik dan air es,
dan minyak goreng.
Metode
Metode pembuatan sosis
disiapkan daging giling sebanyak 25 gram.
Bumbu sosis yang terdiri dari garam
2,2%, bawang putih 0,6%, gula 2%, air es 10%, susu skim 3,3%, dan tepung
tapioka 16% disiapkan dan dicampurkan pada daging dalam adonan. Dicampur,
adonan dalam baskom, dimikser menggunakan alat mixer, dimasukkan dalam
selongsong dan dipadatkan. Apabila dendeng sudah dimasukkan, selongsong diikat
sesuai selera dan direbus sampai sosis matang. Setelah direbus, sosis siap
untuk diuji oleh panelis.
Uji
sensoris. Produk bakso di uji organoleptik yaitu
warna, rasa, tekstur keempukan dan daya terima. Lalu dibandingkan dengan
kontrol produk yang berasal dari pabrik.
Uji
keempukan. Pengukuran keempukan dilakukan dengan
menggunakan alat penetrometer merek K.I.C. Sampel diletakkan di bawah jarum
penetrator dimana jarum penunjuk disiapkan pada angka 0. Besarnya angka
keempukan dapat diketahui dengan membaca angka pada alat dikalikan dengan 1/10
mm.
Uji
pH.
Pengukuran niali pH dilakukan dengan mengukur pH sampel sosis dengan
menggunakan pH meter dan larutan buffer pH 7,0. Bandingkan hasil yang di dapat
dengan kontrol.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Beradasarkan praktikkum
pembuatan sosis yang dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel
6.1 Data bahan dan persentase pembuatan sosis
No.
|
Bahan
|
Berat
|
presentase
|
1
|
Daging
sapi
|
250
gram
|
100%
|
2
|
Garam
|
5,5
gram
|
2,2%
|
3
|
Merica
|
1
gram
|
0,4%
|
4
|
Bawang
putih
|
1,5
gram
|
0,6%
|
5
|
Ketumbar
|
1,5gram
|
0,6%
|
6
|
Gula
|
5
gram
|
2%
|
7
8
|
Susu
skim
Tepung
tapioka
|
8,25 gram
40
gram
|
3,3%
16%
|
9
|
Air
es
|
37,5
gram
|
15%
|
Jumlah bahan
|
350,25
gram
|
|
Pembuatan sosis. Pada pembuatan
sosis, digunakan campuran daging ayam dan daging sapi, digrinding dan diberi
garam. Grinding digunakan untuk mengurangi ukuran partikel daging dan lemak dan
untuk pencampuran bahan-bahan yang digunakan. Garam dan merica merupakan bahan
penyedap utama dalam pembuatan sosis (Soeparno, 2005). Ditambah bawang putih, merica dan ketumbar
yang merupakan bumbu. Penambahan bahan penyedap dan bumbu, terutama ditujukan
untuk menambah atau meningkatkan flavor (Soeparno, 2005).
Fungsi utama penambahan gula dalam curing adalah untuk memodifikasi
rasa dan menurunkan kadar air yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan
mikroorganisme (Yuyun, 2007). Air dingin dimasukkan, air dingin berfungsi
sebagai pelarut adonan agar lembut dan menjaga suhu agar tetap dingin sehingga
protein dan komponen lain tidak rusak (Yuyun, 2007).
Susu
skim yang berfungsi sebagai binder (bahan pengikat). Susu skim bubuk ditambahkan
dalam pembuatan sosis berfungsi sebagai pengikat (binder) yang dapat
meningkatkan daya ikat air sosis dan emulsi lemak, yang mempunyai ciri
mengandung protein tinggi (Soeparno, 2005).
Dimasukkan pula tepung tapioka yang berfungsi
sebagai pengisi (filler). Filler mengandung karbohidrat dalam jumlah yang
relatif tinggi dan protein dalam jumlah yang relatif rendah, sehingga mempunyai
kapasitas mengikat air yang besar dan kemampuan emulsifikasi yang rendah
(Soeparno, 2005). Tapioka adalah pati yang diperoleh dari umbi tanaman ubi kayu
(manihot esculenta, Crantz). Dalam perdagangan lebih dikenal sebagai tapioka
flour atau tepung tapioka (Lawrie, 2003).
Dilakukan chopping
(peremasan) agar adonan tercampur rata, lalu stuffing, yaitu pemasukan adonan
sosis kedalam kasing dilakukan dengan stuffer. Stuffer digunakan untuk
menentukan ukutan dan bentuk sosis. Lalu
dilakukan proses pemasakan bahan dengan dikukus yang bertujuan untuk
menyatukan komponen adonan sosis yang berupa emulsi minyak air dengan protein myosin
daging sebagai penstabilnya. Selain itu juga bertujuan untuk memantapkan warna
daging dan untuk menginaktifkan mikrobia (Rukmana, 2001).
Uji
sensoris. Berdasarkan praktikum yang dilakukan
pada pembuatan sosis, diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel
6.2 Uji Sensoris sosis
No
|
Parameter
|
Hasil Praktikum
|
Kontrol
|
1
|
Warna
|
Coklat
|
Merah
|
2
|
Rasa
|
Enak
|
gurih
|
3
|
Tekstur
|
Kasar
|
Halus
|
4
|
Keempukan
|
Empuk
|
Lebih empuk
|
5
|
Daya terima
|
Diterima
|
Diterima
|
Berdasarkan praktikum
yang dilakukan, didapatkan sosis dengan coklat, sedangkan pada kontrol berwarna
merah. Hal ini disebabkan pada sosis kontrol menggunakan bahan nitrit sebagai
pengawet. Menurut Soeparno (2005), nitrit dan nitrat sebagai garam sodium atau
potasium dipergunakan dalam daging cured
dengan tujuan untuk mengembangkan warna daging menjadi warna merah muda terang
dan stabil.
Sosis hasil praktikum memiliki enak atau pas, sedangkan sosis kontrol memiliki rasa yang gurih. Cita
rasa dikaitkan dengan adanya lemak dan senyawa volatil tertentu. Keseluruhan
besarnya palatabilitas dipengaruhi oleh jumlah daging karena pengaruh komponen
flavor dan terjadi fragmentasi serta pelunakan daging selama pengunyahan
(Soeparno, 2005).
Sosis hasil praktikum bertekstur agak halus, sedangkan sosis kontrol bertekstur
halus. Hal ini dikarenakan faktor penggilingan daging dan pencampuran adonan. Ukuran
partikel daging menentukan karakteristik kualitas produk daging (Girard et al., 1992). Sosis hasil praktkum lebih empuk, sedangkan sosis
control lebih kenyal. Menurut Soeparno (2005), keempukan daging dipengaruhi oleh
beberapa komponen yaitu struktur miofibrilar dan status kontaksinya, kandungan
jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya, dan daya ikat air oleh protein
daging dan jus daging.
Menurut pendapat praktikan,
baik sosis hasil praktikum maupun sosis kontrol dapat diterima oleh para
praktikan. Daya terima merupakan sensasi yang komplek antara flavor yang
melibatkan bau, rasa, tekstur, dan aroma dari daging (Soeparno, 2005). Daya
terima konsumen terhadap produk yang dihasilkan tidak dapat diukur dan
disamaratakan karena sensasi yang dihasilkan oleh tiap individu berbeda,
sehingga tidaklah layak untuk merekomendasikan suatu skala standar untuk
menilai sifat dari daya terima tiap konsumen (Lawrie, 1995).
Uji
pH. Berdasarkan praktikum yang dilakukan
pada pembuatan bakso, diperoleh hasil uji pH adalah sebagai berikut:
Tabel
6.3 Uji pH sosis
No
|
Sampel
|
|
pH
|
|
Rata-rata
|
I
|
II
|
III
|
|||
1
|
Sosis1
|
6,3
|
6,4
|
6,4
|
6,4
|
2
|
sosis 2
|
6,4
|
6,2
|
6,5
|
6,4
|
Berdasarkan praktikum yang dilakukan diperoleh rata-rata
nilai pH 6,4 untuk sampel sosis 1 dan bakso 2. Kisaran pH sosis menurut Soeparno (2005), yaitu
6,0 sampai 6,5.
Hasil pengamatan apabila
dibandingkan dengan literatur berada dalam kisaran normal. Menurut Lawrie (2003) faktor-faktor
yang mempengaruhi proses pengolahan sosis adalah emulsi
sosis, bahan pengikat, selongsong sosis dan bumbu-bumbu. Masalah yang dihadapi
dalam pembuatan sosis adalah pecahnya emulsi. Emulsi dapat pecah karena
penggilingan berlebihan, penggunaan daging yang nisbah miosin, kolagen yang
tidak seimbang daging pendek), pemanasan yang berlebihan dan terlampau cepat
selama proses pengolahan.
Uji
keempukan. Berdasarkan praktikum yang dilakukan
pada pembuatan bakso, diperoleh hasil uji keempukan adalah sebagai berikut:
Tabel
6.3 Uji keempukan Sosis
No
|
Parameter
|
|
keempukan
|
|
Rata-rata
|
I
|
II
|
III
|
|||
1
|
Sosis 1
|
19
|
18
|
21
|
19,3
|
2
|
Sosis 2
|
22,3
|
24,2
|
23,8
|
23,4
|
Berdasarkan hasil praktikum pengukuran keempukan
menggunakan alat penetrometer merek KIC denga beban seberat 10 gram. Hasil uji
keempukan rata-rata adalah 19,3 untuk sampel bakso 1 dan 23,4 untk sampel bakso
2. Menurut Naruki dan Kanoni (1992), nilai keempukan daging adalah 43,33. Hasil prsktikum menunjukaan keempukan
sosis berada pada kisaran normal. Hal ini disebabkan bahan-bahan yang digunakan
yang masih kurang pas. Menurut soeparno (2004), fakrtor yang berpengaruh
terhadap nilai keempukan adalah jaringan ikat dan lemak yang terdapat dalam
produk, juga temperatur yang mempunyai pengaruh bervariasi terhadap daya ikat
air oleh protein daging, susut masak, pH, dan kadar jus daging. Tiga komponen
utama daging yang andil terhadap keempukan atau kealotan, yaitu jaringa ikat,
serabut otot, dan jaringan adiposa.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum,
dapat disimpulkan bahwa cara pembuatan sosis yaitu terdiri dari bahan-bahan
daging sapi, garam, merica, bawang putih, ketumbar, minyak, susu skim (binder),
tepung tapioka (filler), dan air es. Dalam uji Sensoris bakso, diketahui warna sosis
coklat, rasa enak, tekstur kasar, empuk dengan rata-rata tingkat pH 6,4 ada
pada kisaran normal dan keempukan 19,3 berada
dibawah kisaran normaldan dapat diterima. Namun, dengan demikian sosis yang
dihasilkan termasuk pada kisaran baik dan dapat diterima.
DAFTAR
PUSTAKA
Hadiwiyoto.1994.
Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging, dan Telur. Liberty , Yogyakarta.
Lawrie,
R.A. 2003. Ilmu Daging Edisi Kelima. Penerjemah Aminuddin Parakkasi. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Mead,
G. C. dan Richardson, R. I. 2003. Poultry Meat Science Volume 25. CABI
Publishing. New York : USA.
Rukmana.
2001. Ikan Nila Budi daya dan Prospek
Agribisnis. Kanisius. Yogyakarta.
Soeparno.
1991. Ilmu Otot dan Daging. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Soeparno,
2005. Ilmu dan Teknologi Daging, cetakan 4. Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Suryati,
Budi A.N, Srikandi. 2008. Korelasi dan Kategori keempukan Daging berdasarkan
harga daging Berdasarkan hasil Pengujian Menggunakan alat dan parelis. IPB,
Bogor .
Yuyun,
A. 2007. Panduan Wirausaha Membuat Aneka Bakso. Agromedia. Jakarta.
ACARA
VII
PENGEMASAN
(PACKAGING)
TINJAUAN
PUSTAKA
Pengemasan merupakan salah
satu cara memberiakn kondisi yang tepat bagi pangan untuk mempertahankan
mutunya dalam jangka waktu yang diinginkan. Fungsi utama pengemasan, antara
lain menjaga produk pangan akibat kontaminasi, melindungi pangan terhadap kerusakan
fisik, dan menghambat kerusakan mutu. Penggunaan plastik sebagai pengemas untuk
melindungai produk terhadap cahaya, udara atau oksigen, perpindahan panas,
kontaminasi, dan kontak dengan bahan-bahan kimia.Polietelin merupakan jenis
plastik yang paling banyak digunakan dalam industri karena sifat-sifatnya yang
mudah dibentuk, tahan terhadap berbagai bahan kimia, penampakannya jernih, dan
mudah digunakan sebagai laminasi (Dewandari, 2009).
Keuntungan dari pengemasan
yaitu melindungi makanan dari kontaminasi kimia dan mikrobia, oksigen,
penguapan air dan cahaya. Tipe pengemas yang digunakan merupakan tolak ukur
penting yang mempengaruhi daya tahan/umur makanan. Wadah harus bersifat non
toksik dan inert sehingga tidak terjadi reaksi kimia yang dapat menyebabkan
perubahan warna, flavor, dan perubahan-perubahan lainnya (Wina Teknik
pengemasan yang dapat memonitor kondisi produk makanan dan mencantumkan
informasi tentang kesegaran makanan (freshness of the food), termasuk waktu,
temperatur dan lokasi.
Menurut Cenadi (2000), Packaging terdiri dari Intelligent
Packaging, Controlled Packaging, Active Packaging. Intelligent Packaging
yaitu kemasan jenis ini menginformasikan kepada konsumen tentang kesegaran
makanan melalui indikator-indikator waktu/temperatur, microchips yang menempel
dibalik kemasan dan polymers yang transparan serta frekuensi radio yang dapat
mengidentifikasikan keadaan makanan dari rantai supply (Priyonorno, 1993).
Teknik
pengemasan yang dapat memonitor kondisi produk makanan dan mencantumkan
informasi tentang kesegaran makanan (freshness of the food), termasuk waktu,
temperatur dan lokasi.
Kemasan jenis ini
menginformasikan kepada konsumen tentang kesegaran makanan melalui
indikator-indikator waktu/temperatur, microchips yang menempel dibalik kemasan
dan polymers yang transparan serta frekuensi radio yang dapat
mengidentifikasikan keadaan makanan dari rantai supply (Priyono 2005). Controlled Packaging adalah kemasan yang dapat mengendalikan makanan yang
dikemasnya. Modified Atmosphere Packaging (MAP), dimana komposisi udara yang
mengelilingi produk diatur untuk memperpanjang umur makanan (extended shelf
life), mempertahankan rasa sehingga dapat mengurangi kebutuhan additives (Priyono 2005).
Active
Packaging merupakan bahan-bahan yang didesain untuk melepas
komponen-komponen aktif ke dalam makanan, seperti antioksidan, aroma, warna. Scavenging system, yang dapat menyerap
substansi, seperti air dan oksigen dengan tujuan untuk memperpanjang umur
(shelf life) atau menjaga kesegaran (freshness) dan kualitas makanan.
Selain penyimpanan dengan
menggunakan metode pengemasan dengan plastik dan dengan cara sederhana dalam
usaha memperpanjang daya simpan produk dapat dilakukan dengan cara penyimpanan
hipobarik. Penyimpanan hipobarik ini dilakukan didalam ruang vakum yang
berhubungan dengan udara yang mengandung air jenuh sehingga bermanfaat dalam
mempertahankan tingkat oksigen dalam buah dan kehilangan air pada buah karena
hal ini dapat menurunkan tekanan parsial pada oksigen dan pada buah yang lain
dapat menekan produksi gas etilen (Hawa, La Choviya, 2006). Dengan memanfaatkan
berbagai teknolgi yang ada akan memerlukan biaya yang cukup mahal tetapi bagi
petani yang tidak memiliki biaya cukup dalam proses penyimpanan dapat
menerapkan cara yang sederhana agar menekan biaya produksi produk.
MATERI
DAN METODE
Materi
Alat.
Alat yang digunakan pada praktikum pengemasan adalah mesin pengemas vakum dan
plastik poliethylen.
Bahan.
Bahan yang digunakan pada praktikum pengemasan adalah produk daging seperti
sosis dan bakso.
Metode
Vacum pack disetting sesuai kebutuhan.
Produk daging seperti sosis, dendeng, atau bakso dimasukan kedalam plastik poliethylen, dtata sedemikian rupa lalu
dimasukan dalam vacum pack.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Menurut Sunadi (2005),
pengemasan memegang perana penting dalam pengawetan bahan pangan hasil
pertanian yang pada umumnya mudah rusak, karena dengan pengemasan dapat
membantu mencegah atau mengurangi kerusakan yang disebabkan faktor lingkungan
yaitu kerusakan mekanis, perubahan kadar air, bahan pangan, absorbsi dan
interaksi dengan oksigen, kehilangan dan penambahan cita rasa yang tidak
diinginkan.
Bedasarkan hasil praktikum
yang telah dilakukan pengemasan dilakukan denga cara, produk hasil peternakan
yaitu sosis dan bakso dimasukan kedalam plastik poliethylen, selanjutnya di
vakum, maka dapat dilihat hasil yang diperoleh yaitu plastik poliethylen
melekat pada sosis dan bakso, sehingga terlihat rapi dan tidak mudah rusakserta
tidak akan ada mikrobia yang masuk, karena tidak ada celahsebagai jalan
masuknya bakteri atau kuman.
Poliethylen merupakan jenis
plastik tipis tang banyak digunakan dalam industri pengemasan fleksibel.
Poliethylen memiliki sifat –sifat yang menguntungkan antara lain mudah dikelim
oleh panas, fleksibel, permebilitas uap air dan rendah, dapat digunakan dalam
penyimpanan beku (-500C), transparan sampai buram, serta dapat
digunakan sebagai bahan laminasi dengan bahan yang lain (Kuswanto, 2003). Prinsip
kerja mesin vacum adalah memanaskan produk pada suhu yang bisa diatur, disertai
dengan penyedotan (pemvakuman) uap air dari produk yang dipanaskan tersebut.
Hampir sama dengan vakum frying (hanya saja mesin ini tanpa minyak) (Syarif,
1996).
Syarat-syarat Kemasan yang
Baik, adalah Dapat melindungi suatu barang sangat besar pengaruhnya terhadap
penjuaalan,oleh karna itu perlu pembungkus yang dapat melindungi baik pada
waktu masih di gudang,dalam pengankutan maupun pengendaraan di gudang. Bila
kemasan mampu melindungi barang-barang tersebut maka kualitas bar ang-barang
tersebut maka kualitas barang-barang akan lebih terjamin sehingga kelancaran
penjual dapat di tingkatkan. Praktis, Ketepatan ukuran, dan Dapat
menimbulkan kesan (Kuswanto, 2003).
Didalam pengemasan bahan
pangan terdapat dua macam wadah, yaitu wadah utama atau wadah yang langsung
berhubungan dengan bahan pangan dan wadah kedua atau wadah yang tidak langsung
berhubungan dengan bahan pangan. Wadah utama harus bersifat non toksik dan
inert sehingga tidak terjadi reaksi kimia yang dapat menyebabkan perubahan
warna, flavour dan perubahan lainnya. Selain itu, untuk wadah utama biasanya
diperlukan syarat-syarat tertentu bergantung pada jenis makanannya, misalnya
melindungi makanan dari kontaminasi, melindungi kandungan air dan lemaknya,
mencegah masuknya bau dan gas, melindungi makanan dari sinar matahari,
tahan terhadap tekanan atau benturan dan transparan (Winarno, 1997).
Plastik PE, baik jenis HDPE
(high density polyethylene) atau LDPE (low density polyethylene) umumnya
digunakan sebagai wadah atau kemasan primer. Artinya, kemasan yang kontak atau
berhubungan langsung dengan produk. Sifat menguntungkan dari jenis plastik ini
adalah sifat permeabilitas terhadap uap air dan air rendah, stabil
terhadap panas, dan memiliki kerapatan tinggi sebagai pelindung terhadap
tekanan luar. Selain itu, PE juga tidak bereaksi dengan makanan dan tidak
menimbulkan racun (Sarwno dan Saragih, ) Plastik PE, baik jenis HDPE (high
density polyethylene) atau LDPE (low density polyethylene) umumnya digunakan
sebagai wadah atau kemasan primer. Artinya, kemasan yang kontak atau
berhubungan langsung dengan produk. Sifat menguntungkan dari jenis plastik ini
adalah sifat permeabilitas terhadap uap air dan air rendah, stabil
terhadap panas, dan memiliki kerapatan tinggi sebagai pelindung terhadap
tekanan luar. Selain itu, PE juga tidak bereaksi dengan makanan dan tidak
menimbulkan racun (Sarwono
dan Saragih, 2005).
Brown et al. dalam
Rosalina (2011) menunjukkan bahwa penggunaan plastik polyethylen(PE)
tertutup rapat memberikan hasil yang signifikan dalam mempertahankan susut
bobot buah rambutan pada suhu rendah dan bertahan hingga hari ke sembilan.
Wills et al. dalam Rosalina (2011) juga menyatakan film
kemasan polyethylen merupakan bahan pengemas plastik yang baik
digunakan pada sistem penyimpanan dengan atmosfir termodifikasi, karena
mempunyai permeabilitas yang besar terhadap CO2 dibandingkan dengan O2. Mesin vacum atau
mesin pengemas vakum saat ini telah banyak digunakan oleh pengusaha makanan dan
usaha lainnya yang membutuhkan mesin vacuum. Bahkan, saat ini sudah ribuan
mesin kemasan vakum ini yang sudah dipakai untuk usaha di berbagai kota di
Indonesia. Fungsi mesin vacuum adalah untuk mengemas secara
vacuum, dengan cara menghilangkan udara dalam kemasan plastik. Sehingga produk
makanan lebih tahan lama, lebih mudah menyimpannya dan mudah
pendistribusiannya.Cara kerja mesin
vacuum adalah dengan menghisap udara dalam kemasan plastik, lalu
merekatkan ujung kemasan plastik hingga menutup rapat produk. Jadi cara kerja
mesin ini adalah menyedot udara dan menutup kemasan dengan cara pemanasan.
KESIMPULAN
Berdasarkam praktikum yang
telah dilakukandapat disimpulkan bahwa setiap produk peternakan atau pertanian
dibutuhkan proses pengemasan yang baik. Pegemasan mempunyai peranan penting
untuk mencegah terjadinya kontaminasi oleh mikroorganisme. Plastik yang
digunakan dapat berupa plastik poliethylen,
poliproethylen atau High Distelin Poliethylen yang kemudian dibantu dengan
menggunakan alat yang disebut dengan vacum
pack.
DAFTAR
PUSTAKA
Cenadi,
Christine Suharto. 2000. Peranan Desain Kemasan dalam Dunia Pemasaran.Jurnal
Nirmana Vol. 2, No. 1, Januari 2000: 92 – 103.
Dewandari,
Kun Tanti. 2010. Studi Penerapan Haccp pada Pengolahan Sari Buah Jeruk
Siam.Jurnal Standardisasi Vol. 12, No. 1 Tahun 2010: 43 – 49.
Hawa,
La Choviya. 2006. Pengembangan Model Tekstur Dan Umur Simpan Buah Sawo (Achras
Sapota L) Dengan Variasi Suhu Dan Tekanan Pada Peproyononyimpanan Hipobarik.
Jurnal Teknologi Pertanian 7(1): 10-19.
Hidayat,
Moch. Junaedi. 2009. Analisis Industri Budaya pada Desain Produk Kemasan Makanan industri kecil menengah
(IKM). Institut Teknologi Adhi Tama. Surabaya.
Priyono
B, Yunanto A, Arief T. 2007. Karakteristik oseanografi dalam kaitannya dengan
kesuburan perairan di selat Bali. Badan Riset Kelautan dan Perikanan,
Departemen Kelautan dan Perikanan. Bali.
Rosalina, Yessy. 2011. Analisis Konsentrasi Gas Sesaat
Dalam Kemasan Melalui Lubang Berukuran Micro Untuk Mengemas Buah Segar Dengan
Sistim Kemasan Atmosfir Termodifikasi. Agrointek.
Sarwono, B. Dan Yen Pieter Saragih. 2005. Membuat Aneka Tahu. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Susanto,
I, dan Sucipto. 1994. Teknologi Pengemasan Bahan Makanan. Family. Blitar.
Syarief,
R dan A, Irawati. 1996. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian MPS. Jakarta.
Surodi,
Kusmajadi. 2005. Pengemasan Bahan Pangan Hasil ternak dan penentuan waktu
Kadaluarsa. Makasar. Sullawesi Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar