Rabu, 02 April 2014

laporan Ilmu dan Tekhnoligi Daging

LAPORAN PRAKTIKUM
ILMU DAN TEKNOLOGI DAGING











Disusun oleh:
Iis Nuraisah
12/331821/PT/06284
Kelompok VII

Asisten Pendamping :  Ivone Nurul Hidayah


LABORATORIUM PANGAN HASIL TERNAK
BAGIAN TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013








HALAMAN PENGESAHAN

Laporan praktikum Ilmu dan Teknologi Daging disusun guna memenuhi salah satu syarat dalam menempuh mata kuliah Ilmu dan Teknologi Daging di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Laporan praktikum Ilmu dan Teknologi Daging telah disahkan oleh asisten pendamping pada tanggal       Desember 2013.

Yogyakarta,       Desember 2013
Asisten Pendamping


Ivone Nurul Hidayah




KATA PENGANTAR

            Puji syukur penyusun panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan praktikum Ilmu dan Teknologi Daging. Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat dalam mengikuti response akhir dalam mata kuliah Ilmu dan Teknologi Daging yang diselenggarakan oleh Laboratorium Pangan Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada tahun 2013. Penyusun mengucapkan terimakasih kepada :
1.    Prof. Dr. Ir. Ali Agus., DAA.,DEA. Selaku dekan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
2.    Prof. Dr. Ir. Soeparno, Dr. Ir. Edi Suryanto, M. Sc., Dr. Ir. Setiyono, SU., Dr. Rusman, MP., dan Ir. Jamhari, M. Sc. Selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu dan Teknologi Daging Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
3.    Segenap asisten Laboratorium Pangan Hasil Ternak yang telah membimbing dan mengarahkan pelaksanaan praktikum Ilmu dan Teknologi Daging.
4.    Semua pihak yang telah membantu sehingga terselesaikannya laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa isi laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun. Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Yogyakarta,       Desember 2013
                                                                                   
Penyusun

PENDAHULUAN

                                                         
Dunia yang semakin berkembang dan semakin maju, yang seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, memerlukan sumber daya manusia  yang berkualitas, yang mampu berfikir dan berkembang mengikuti kemajuan teknologi yang ada. Konsumsi makanan pokok manusia sehari-hari yang berupa biji-bijian dan sayuran belumlah mencukupi kebutuhan gizi yang diperlukan oleh tubuh, sehingga diperlukan konsumsi dari produk hewani lainnya. Produk hewani, terutama produk peternakan yang meliputi susu, telur dan daging, sangat penting bagi tubuh karena banyak mengandung asam amino essensial yang pada umumnya terdapat dalam jumlah yang kurang pada biji-bijian yang biasa digunakan sebagai bahan makanan pokok manusia.
Ilmu dan Teknologi Daging terdiri dari tujuh acara yaitu pemotongan ternak, pengenalan daging, uji kualitas fisik daging, pembuatan dendeng, pembuatan bakso, pembuatan sosis, dan pengemasan (packaging).
Penanganan yang salah di dalam pengelolaan daging segar akan berdampak pada kualitas dan kuantitas daging. Daging segar yang dihasilkan dapat diolah kedalam berbagai jenis pengolahan salah satunya adalah dendeng, bakso, sosis dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih lanjut terkait teori-teori di atas, maka perlu dilakukan praktikum ini.



ACARA I
PEMOTONGAN TERNAK

TINJAUAN PUSTAKA

Pemotongan ternak adalah kegiatan penyembelihan hewan potong untuk menghasilkan daging. Salah satu hal yang perlu dipahami dalam penanganan se­be­lum penyembelihan yaitu bahwa kondisi fisik ternak sesaat sebelum penyembelihan dan juga pada proses penyembelihan mempunyai pengaruh yang sangat berarti terhadap mutu daging yang dihasilkan dari ternak tersebut. Ternak yang banyak istirahat dan tenang, pa­da waktu pemotongan akan menghasilkan daging yang lebih baik mutunya dibanding dengan ternak yang berada dalam kondisi kele­lahan. Oleh karena itu perlakuan terhadap ternak sebelum dipotong agar diistirahatkan dengan baik, tidak menderita tekanan dan tidak mengalami perlakuan kasar agar dihasilkan daging yang baik mu­tunya (Soperno 2005). Menurut Ressang (1996) hewan yang dipotong baru dianggap mati bila pergerakan-pergerakan anggota tubuhnya dan lain-lain bagian berhenti. Oleh karena itu setelah ternak tidak bergerak lagi leher dipotong dan kepala dipi-sahkan dari badan pada sendi Occipitoatlantis.
Pada dasarnya ada dua cara atau tehnik pemotongan ternak, yaitu: teknik pemotongan secara langsung dan teknik pemotongan secara tidak langsung. Pemotongan secara langsung dilakukan setelah ternak dinyatakan sehat, dan dapat disembelih pada bagian leher dengan memotong arteri karotis dan vena jugularis  serta oesophagus. Pemotongan ternak secara tidak langsung artinya, ternak dipotong setelah dilakukan pemingsanan dan setelah ternak benar-benar pingsan. Maksud pemingsanan ialah memudahkan pelaksanaan penyembelihan ternak, agar ternak tidak tersiksa dan terhindar dari resiko perlakuan kasar, dan agar kualitas kulit dan karkas yang dihasilkan lebih baik, karena pada waktu menjatuhkan, ternak tidak banyak terbanting atau terbentur benda keras sehingga cacat pada kulit atau memar pada karkas seminimal mungkin (Soeparno, 2005).
Secara umum, mekanisme urutan pemotongan ternak besar di Indonesia dibagi menjadi dua bagian yaitu proses penyembelihan dan proses penyiapan karkas, ternak yang sudah dinyatakan sehat oleh dokter hewan atau petugas yang berwenang dan cap S (slaughter = potong) serta sudah diistirahatkan dibawa keruang pemotongan dan disiram dengan air dingin. Maksud penyiraman dengan air dingin adalah agar ternak menjadi bersih dan agar terjadi kontraksi perifer (faso kontraksi), sehingga darah dibagian tepi tubuh menuju kebagian dalam  tubuh dan pada waktu disembelih, darah dapat keluar sebanyak mungkin serta mempermudah pengulitan (Soeparno, 2005).
Ternak disembelih oleh “kaum” atau “modin” yang juga menghadap kiblat, sehingga kepala ternak ada disebelah selatan dan ekor di sebelah utara. Selama proses penyembelihan, setelah bagian kulit, arteri karotis, vena jugularis, trakhea dan esofagus terpotong, dilakukan pengeluaran darah dengan pisau yang lazim disebut proses “bleeding” yaitu menusuk leher ke arah jantung, pengeluaran darah yang tidak sempurna selama proses penyembelihan menyebabkan lebih banyak residu darah yang tertinggal di dalam karkas sebingga daging yang dihasilkan lebih gelap dan lemak daging dapat tercemar oleh darah (Swatland, 1994).
Menurut Soeparno (2005), ada tiga macam teknik pengulitan yaitu pengulitan di lantai, pengulitan dengan digantung, dan pengulitan dengan menggunakan mesin. Pengulitan diawali dengan membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis tengah dada dan bagian perut (abdomen). Kemudian irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam (medial) kaku. Kulit dipidahkan mulai dari ventral ke arah punggung tubuh ternak (Setiyono, 2000). Pemeriksaan daging meliputi pemeriksaan sebelum ternak dipotong, lazim disebut pemeriksaan antemortem dan pemeriksaan setelah pemotongan atau yang azim disebut postmortem, yaitu pemeriksaan karkas dam alat-alat dalam (viscera), serta produk akhir (Soeparno, 2005).





























MATERI DAN METODE

Materi
Materi yang digunakan adalah kuistioner dan alat tulis.

Metode
 Praktikum yang dilaksanakan adalah pengamatan proses pemotongan ternak ruminansia besar seperti sapi di Rumah Potong Hewan Sub Dinas Kehewanan Giwangan Yogyakarta. Praktikum ini juga dilaksanakan dengan membandingkan hasil pengamatan cara pemotongan ternak ruminansia besar pada rumah potong hewan dengan teori yang dibenarkan tentang cara pemotongan pada berbagai referensi buku. Data yang diamati adalah metode penyembelihan, bangsa ternak, jenis kelamin, umur, bobot hidup, bobot karkas, lama waktu masing-masing proses dan lokasi pemasaran.
















HASIL DAN PEMBAHSAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diketahiu hasil pengamatan yang terdiri dari sejarah berdirinya RPH Giwangan, syarat-syarat berdirinya RPH yang baik, proses pemotongan dan penyakit umum pada ternak dan cara penanganannya.
            Sejarah berdirinya RPH. RPH Giwangan merupakan pindahan dari RPH Ngmpilan pada bulan Mei 2008, karena lokasi dan kondisinya sudah tidak memungkinkan. RPH Giwngan merupakan yang partama di Yogyakarta. Secara umum mulai di fungsikannya yaitu pada ahir tahun 2008. Menurut Gittinger dan Adler (1990), bagian induk RPH harus mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai RPH yaitu 01-615-1999 yang sesuai dengan SNI meliputi: Bagian utama terdiri dari rumah pemotongan, kandang penampungan  sementara, karantina, tempat penurunan sapi, ruangpembakaran, ruang diesel, pengolaha limbah  cair, perkantoran, laboratorium dan gang-gang di sekitar RPH. Bangunan pendukung terdirir dari: gudang, garasi, pos jaga, perumahan, kantin, ruang istirahat dan tempat ibadah. Infrastruktur terdiri atas: jalan-jalan dan area parkir, tower tempat air dan pagar atau tembok pembatas.
            Denah Lokasi Rumah Potong Hewan. Denah lokasi RPH Giwangan sebagai berikut.
 










Gambar 1.1 Denah Rumah Potong Hewan Giwangan
            Syarat berdirinya Rumah Potong Hewan. Tujuan didirikannya RPH adalah sebagai tempat memotong hewan potong untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging masyarakat. Syarat berdirinya RPH harus memiliki persyaratan tertentu. Berikut syarat berdirinya Rumah Potong Hewan yang baik menurut PP No 13/2010.
Persayaratan bangunan adalah sebagai berikut. Kompleks rumah potong hewan harus terdiri dari : bangunan utama, kandang penampung dan istirahat hewan, kandang isolasi, kantor administrasi dan kantor dokter hewan, tempat istirahat karyawan (kantin dan musola), tempat penyimpanan barang pribadi (locker), kamar mandi dan WC, sarana penanganan limbah, insenerator, tempat parker, rumah jaga, gardu listrik dan menara air. Rumah potong hewan dilengkapi dengan: ruang pendingin (chilling room) atau ruang pelayuan, ruang pembekuan, ruang pembagian karkas dan pengemasan, dan laboratorium.
Peralatan-peralatan yang terdapat di RPH Giwangan terdiri dari pisau, killing box, katrol, timbangan. Menururt Djamin (2000), rel untuk menggantung karkas harus berjarak 1 m dari dinding terdekat,perlengkapan penunjuang terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif dan mudah dibersihkan. Peralatan yang berhubungan langsung dengan daging harus terbuat dari bahan yang tidak toksik, tidak mudah korosif dan mudah dibersihkan.
            Persyaratan prasarana tambahan adalah sebagai berikut. Akses jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan pengangkut hewan potong dan kendaraan daging, sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah, cukup paling tidak 1000 liter/ekor/hari, sumber tenaga listrik yang cukup dan tersedia terus menerus, dan fasilitas penanganan limbah padat dan cair. Lampu di ruang aRPH harus terang yaitu dengan penerangan 540 lux.
Berdasarkan hasi wawancara secara langsung denga petugas RPH Giwangan, dapat diketahui bahwa juru sembelih di RPH Giwangan ada 3 orang, dokter hewan 3 orang, keurmaster ada 8 orang. Menururt Sutojo (1995), petugas di RPH yang baik yaitu terdiri dari dokter hewan minimal 1orang, keurmaster minimal lulusan SMK peternakan, juru sembelih minimal 1 orang, higieny saitasi 8 orang. Sutojo (1995), juga menyatakan setiap karyawan harus sehat, minimal diperksa secara rutin satu bulan satu kalidalam setahun dan memperoleh pelatihan yang berkesinambungan tentang higieny dan mutu.           
Proses pemotongan. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan proses pemotongan di RPH Giwangan adalah sebagai berikut.
Tabel 1.1 Hasil pengamatan pemotongan ternak sapi
Pengamatan
Hasil
bangsa sapi
Simpo
jenis kelamin
Betina
umur sapi
1,5 tahun
berat hidup (kg)
194
lama pemotongan
2 menit, 35 detik
lama pengulitan
7 menit, 40 detik
lama pengeluaran jeroan
2 menit, 21 detik
lama pembelahan karkas
2 menit
berat karkas (kg)
97
bagian yang di parting
shank, sirloin, tenderloin, chuck, rib, dan cubrol
pemeriksaan antemortem
umur, fisik, mata, dan rambut
pemeriksaan postmortem
organ merah, lidah, daging karkas, mamae dan empedu
ada atau tidaknya penyimpangan pada proses pemotongan
tidak ada
ada atau tidaknya penyakit yang ditemukan
tidak ada
 Hewan ternak yang dipotong pada praktikum Rumah Potong Hewan adalah jenis sapi Simpo, jenis kelamin betina, umur 1,5 tahun, berat hidup 194 Kg. Pemotongan yang dilakukan di RPH Giwangan yaitu dengan pemotongan secara langsung (halal method).
Proses pemotongan diawali dengan pengistarahan ternak selama kurang lebih 12 jam dengan cara pemuasaan ditempat pengistarahan. Tujuan dari pemuasaan adalah untuk memperoleh berat tubuh kosong dan untuk mempermudah proses penyembelihan terutama pada hewan liar. Menurut Soeparno (2005) tujuan dilakukan pengistirahatan adalah agar ternak tidak stres, agar pada saat disembelih darah dapat keluar sebanyak-banyaknya dan agar pada saat disembelih cukup tersedian tenaga sehingga proses kekakuan karkas (rigormortis) dapat berlangsung secara sempurna.
Sebelum sapi masuk ke proses pemotongan, dilakukan pemeriksaan antemortem. Hal-hal yang diamati pada pemeriksaan ini adalah umur, fisik, mata, rambut, dan kulit. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui kondisi kesehatan ternak secara fisik. Menurut Haqiqi (2009) pemeriksaan antemortem untuk mengidentifikasi dan menyingkirkan pemotongan ternak-ternak yang terkontaminasi/terserang penyakit terutama penyakit yang dapat menulari manusia yang mengkonsumsinya. Mencegah agar ternak yang kotor tidak memasuki Rumah Potong, hal ini untuk mencegah agar lantai Rumah Potong tidak kotor. Melakukan pemeriksaan penyakit-penyakit ternak yang bisa menular pada manusia.
Memeriksa umur ternak dengan teliti dan benar, agar tidak tertukar antara daging dari ternak muda yang kualitasnya baik dengan daging yang berasal dari ternak yang sudah tua yang umumnya kualitasnya kurang baik. Permukaan luar kulit hewan yang sehat bulunya akan terlihat mengkilat dan turgornya baik. Pemeriksaan pada bibir dan hidung apakah basah atau tidak, cara mengunyah atau memamah biak. Kondisi tubuh hewan apakah gemuk, kurus atau sedang. Ternak yang datang, dilakukan pemeriksaan antemortem. Tujuan dari pemeriksaan antemortem adalah untuk mengetahui ada ternak yang cedera, sehingga ternak harus dipotong sebelum ternak yang lain dan untuk mengetahui ternak-ternak yang sakit dan harus dipotong secara terpisah dengan ternak yang sehat (Soeparno, 2005).
Menurut petugas di RPH Giwangan, sebelum ternak di potong diminta dulu surat keterangan hewan yang dan di periksa kesehatan ternaknya. Cara paling mudah untuk memeriksa kesehatan ternak sapi yaitu dilihat dari hidung dan moncongnya. Setelah pemeriksaan ternak, maka akan diperoleh S (sloker) yang artinya x1= masih produktif dan x2= tidak boleh dipotong.
Setelah pemuasaan, ternak digiring dari kandang penampung, ternak disiram dengan air, air digunakan agar ternak bersih dan mempermudah pengulitan. Setelah itu, ternak masuk dalam killing box, yang berupa ruangan sempit segi empat panjang dengan salah satu sisinya bisa dibuka. Setelah ternak masuk, kaki diikat, sisi killing box dibuka dan ternak jatuh menghadap kiblat. Pemotongan dilakukan sesuai syariat Islam. Sapi dipotong dengan menghadap kiblat, kepala berada di sebelah selatan dan ekor di sebelah utara. Ternak disembelih dengan mengiris pada bagian kulit, vena jugularis, arteri carotis oesophagus dan trakhea. Proses penyembelihan memakan waktu 2 menit 35 detik. Proses penyembelihan tidak terlalu lama atau ternak harus cepat mati, sehingga tidak terlalu lama tersiksa (Soeparno, 2005).
Setelah itu, kepala dipisah dan dilakukan pengulitan gantung, proses pengulitan berjalan selama 7 menit 40 detik, setelah pengulitan, rongga perut dibuka, dikeluarkan jerohannya. Pengeluaran ini memakan waktu 2 menit 21 detik. Jerohan lalu dimasukkan dalam ruangan yang berbeda, yaitu ruang jerohan hijau untuk saluran pencernaan dan ruang jerohan merah untuk jantung, paru-paru, hati, limpa dan ginjal, dalam ruangan tersebut organ-organ dibersihkan dan diperiksa secara postmortem, seperti adanya cacing pada hati atau batu ginjal pada ginjal.
Pembelahan karkas di RPH Giwangan memakan waktu 2 menit. Pembelahan dilakukan dengan mesin, mulai dari tulang leher, karkas dibelah menjadi dua, sebelah kiri dan kanan. Setelah itu karkas ditimbang secara sensoris, beratnya mencapai 97 kg. Presentase karkas dari satu tubuh sapi mencapai 40-50%. Karkas lalu masuk ke ruang lain untuk dipotong-potong sesuai keinginan konsumen. Sebelum dipotong-potong, seharusnya karkas dilayukan dahulu kurang lebih 8 jam, namun karena konsumen ingin mendapatkan segera karkasnya, maka proses pelayuan tidak dilakukan. Pengangkutan biasanya diambil sendiri oleh konsumen atau diantar ke kios-kios.
Penyakit Umum pada Ternak dan Cara Penangannya. Penyakit yang sering ditemukan di RPH Giwangan adalah brusilosis, fasciola, dan  toksa. Brusilosis adalah penyakit reproduksi menular ruminansia yang disebabkan oleh kuman brucella sp. Brucella menyebabkan keguguran atau keluron pada umur kebuntingan tertentu. Cara penangan brusilosis adalah dibakar, dikubur dan tidak dikonsumsi. Menurut Suryani (2012) fasciola merupakan penyakit yang banyak menyerang hewan ternak (sapi) dan mampu memberikan dampak luas pada individu yang terserang. Faciola disebabkan oleh cacing fasciola hepatica. Cara penganan fasciola dengan dipotong bagian yang tidak cacingan. Sedangkan toksa menurut Andreas (2012) toksa merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii yang penyebarannya bisa terjadi melalui makanan atau air yang sudah terkontaminasi serta bisa juga ditularkan dari hewan ke manusia. Cara penganan toksa adalah dengan menstrilkan bahan-bahan yang digunakan untuk keperluan peternakan dan tidak memberi pakan yang masih berair.








KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa syarat berdirinya RPH harus memenuhi persyaratan lokasi, persyaratan prasarana tambahan, persyaratan bangunan, persyaratan peralatan, dan persyaratan sumber daya manusia. RPH yang diamati belum memenuhi baik, karena belum sesuai dengan persyaratan berdirinya RPH berdasarkan PP/No 13/2010. Pemotongan yang dilakukan menggunakan metode pemotongan secara langsung (halal method).






















DAFTAR PUSTAKA

Andreas, Ken. 2012. Penyakit Tokso. http://caraatasitokso.blogspot.com/. Diakses tanggal 11 desember 2013.

Djamin, Zulkarnain. 2000. Perencanaan dan Analisis Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Gittinger, J. Price and Adler, H. A. 1990. Evaluasi proyek. Terjemah Soemarsono. S. R. Rineka Cipta. Jakarta.

Ressanger, A. Z dan A. M. Nasution. 1996. Pedoman Mata pelajaran Ilmu Kesehatan Susu. Fakultas peternakan IPB. Bogor

Setiyono. 2000. Abatoir dan Tehnik Pemotongan. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Sutojo, Siswanto. 1995. Studi Kelayakan Proyek: teori dan Praktek. Lembaga PDM dan PT Pustaka Binaman Presindo. Jakarta

Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging, cetakan 4. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Sohibul Himam Haqiqi. 2009. Laporan Hasil PengamatanUnit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD)Perusahaan DaerahRumah Potong Hewan Di Kabupaten Jombang. Fakultas PeternakanUniversitas Brawijaya, Malang.

Suryani, Kiki. 2012. Fasciola hepatica (Cacing hati). http://erickbio.wordpress.com/2012/08/12/fasciola-hepatica-cacing-hati/. Diakses tanggal 11 Desember 2013

Swatland, H., J. 1994. Structure and Development of Meat Animals. Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs. New Jersey.









ACARA II
PENGENALAN DAGING

TINJAUAN PUSTAKA

Daging merupakan bahan pangan sumber protein dengan kandungan gizi yang lengkap dan bisa diolah menjadi berbagai jenis produk makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat. Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan yang layak untuk dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya termasuk diantaranya hati, ginjal, otak, paru, jantung, limpa, pankreas dan jaringan otot serta semua produk daging (Soeparno,2005).
Soeparno (2005), daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua hasil produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya.
Nilai pH daging tidak akan pernah mencapai nilai di bawah 5,3.  Hal ini disebabkan karena pada nilai pH di bawah 5,3 enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif berkerja. (purnomo, 1996). Keempukan daging sangat mempengaruhi persepsi konsumen dalam menilai mutu daging. Kesan empuk melibatkan tiga aspek berikut: kemudahan penetrasi gigi ke dalam daging, kemudahan pengunyahan daging menjadi potongan-potongan yang lebih kecil dan jumlah residu (sisa) yang tertinggal setelah pengunyahan (Muchtadi, 1994).
Pada temperature pemasakan 80% 0C, daging yang mengalami pemendekan dingin pada PH normal 5,4-5,8, menghasilkan susut masak yang lebih besar dari pada susut masak daging renggang dengan panjang serabut yang sama (Winarno, 2004). PH daging yang berhubungan dengan DIA, kesan jus daging, keempukan dan susut masak, juga bisa berhubungan dengan warna dan sifat mekanik daging (daya putus WB), kompresi, adhesi dan kekuatan tarik ). Suatu kenaikan pH daging akan meningkatakan jus daging (KJ dan DIA) dan menurunkan susut masak otot SM dan LD domba secara linear. Keempukan daging banyak ditentukan setidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya (Winarno, 2004).

































MATERI DAN METODE

Materi
Alat. Alat yang digunakan pada praktikum pengenalan daging yaitu kertas kerja, sarung tangan plastik dan alat tulis
Bahan.  Bahan yang digunakan pada prktikumpengenalan daging yaitu sampel daging sapi, daging domba, daging kerbau, daging kuda, kambing, dan daging babi.

Metode
Metode yang dilakukan pada praktikum pengenalan daging yaitu karakteristik daging diamati yang meliputi warna daging, tekstur serat, bau dan aroma, warna dan jumlah lemak daging. Hasil pengamatan di tulis pada kertas kerja.





















HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan terhadap pengenalan daging dapat diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 2.1 Hasil pengamatan pengenalan daging
nNo
Macam Daging
Warna Daging
Tekstur Daging
Konsistensi Daging
Jumlah Marbling
Wrna Lemak
1
Daging sapi
Merah
Halus
Kenyal
Sedang
Putih
2
Daging kambing
Merah tua
Halus
Empuk
Sedikitt
Putih
3
Daging Domba
Merah tua
Kasar
Keras
Banyak
Kuning
4
Daging Kerbau
Merah tua
Kasar
Keras
Sedikit
Putih
5
Daging Kuda
Merah tua
Halus
Kenyal
Sedikit
Putih
6
Daging Babi
Merah tua
Halus
Kenyal
Banyak
Kuning
Daging Sapi. Berdasarkan hasil pengamatan daging sapi berwarna merah, tekstur halus, konsistensi daging empuk, jumlah marbiling banyak dan warna lemak putih. Menurut Tim Dapur DeMedia (2012) ciri-ciri daging sapi adalah dagingnya berwarna merah terang dan lemaknya berwarna kekuningan, tekstur dagingnya kenyal. Menurut Riyanti (2007), daging sapi yang baik adalah berwarna merah lemaknya putih dan tekstur halus. Ciri-ciri daging yang diamati dan literatur terdapat kesesuaian, jadi dapat disimpulkan daging yang diamati adalah dengan kualitas baik. Menurut Widati (2008) daging sapi memiliki kadar air 73,22%, kadar abu 0,41%, protein 21,36%, dan lemak 1,18%.
Daging Kambing.  Berdasarkan hasil pengamatan daging kambing berwarna merah, tekstur daging halus, konsistensi daging empuk, jumlah marbling sedikit, dan warna lemak putih. Menurut Setyawan (2011) daging kambing umumnya menimbulkan bau prengus, warna daging kambing  umumnya lebih merah daripada daging domba, dan sebaran lemak daging kambing hanya terdapat pada jeroan. Ciri-ciri daging yang diamati terdapat kesesuaian dengan literatur, maka dapat disimpulkan daging yang diamati berada dalam kualitas baik. Menurut Rostini (2011) daging kambing terdiri bahan kering 24.07 %,kadar abu1.25%, protein kasar18.68 %, serat kasar0.77 %, lemak kasar1.65 %, dan bet-n2.48 %.
Daging Domba. Daging domba yang diamati berwarna merah tua, tekstur daging kasar, konsistensi daging keras, jumlah marbling banyak, dan warna lemak kuning. Menurut Setyawan (2011) daging domba memilki tekstur yang lebih empuk dan halus. Daging domba tidak berbau amis, dan sebaran lemak daging domba tersebar diseluruh bagian tubuh. Ciri-ciri daging yang diamati terdapat kesesuaian, Lemak daging domba yang diamati tersebar diseluruh permukaan daging, jadi dapat disimpulkan daging yang diamati tidak dalam kondisi baik. Menurut Komunitas Edukasi Dan Jaringan Usaha (2012), daging Domba mengandung energi sebesar 206 kilokalori, protein 17,1 gram, karbohidrat 0 gram, lemak 14,8 gram, kalsium 10 miligram, fosfor 191 miligram, dan zat besi 3 miligram.  Selain itu di dalam Daging Domba juga terkandung vitamin A sebanyak 0 IU, vitamin B1 0,15 miligram dan vitamin C 0 miligram.  Hasil tersebut didapat dari melakukan penelitian terhadap 100 gram Daging Domba, dengan jumlah yang dapat dimakan sebanyak 100 %.
Daging Kerbau. Daging kerbau yang diamati memiliki warna daging merah tua, tekstur daging kasar, konsistensi daging keras, jumlah marbling sedikit, dan warna lemak putih. Daging kerbau belum populer karena ternak yang dipotong umumnya berasaldari ternak yang tua (8-10 tahun) dan dipekerjakan untuk membajak sawah sertamenarik barang (sebagai kendaraan). Akibatnya, daging kerbau yang dijual di pasartidak empuk, juiceness rendah, flavornya kurang enak sehingga tidak memenuhisyarat sebagai daging yang bermutu baik (Ditjen Peternakan, 2005). Menurut Riyanti (2007) daging kerbau yang baik adalah berwarna merah tua, berserat kasar dan keras, dan lemak berwarna kuning tua. Ciri-ciri yang terdapat pada daging kerbau yang diamati sudah sesuai dengan literatur, jadi dapat disimpulkan bahwa daging kerbau yang diamati berada dalam kondisi baik.
Menurut Rahmat (2008) daging kerbau memiliki karakteristik nilaipH daging 5,4; kadar air 76,6%; protein 19%; dan kadar abu 1%.Lemak kerbau berwarna lebih putih dan daging kerbau berwarna lebih gelapdibandingkan dengan daging sapi. Hal ini disebabkan lebih banyaknya pigmentasipada daging kerbau atau lemak intramuskulernya yang lebih sedikit (National Research Council, 1981). Kualitas makan daging kerbau serupa dengan daging sapi,bahkan lebih disenangi di beberapa daerah. Kadar lemak daging kerbau lebih rendahsehingga dapat memenuhi keinginan konsumen dewasa ini. Walaupun demikian,daging kerbau juga lebih banyak mengandung tenunan pengikat dan berwarna lebihgelap sehingga cenderung mengurangi kualitasnya dibandingkan dengan daging sapi(Lawrie, 2005).
Daging Kuda. Daging kuda yang diamati memiliki warna daging merah tua, tekstur daging halus, konsistensi daging kenyal, jumlah marbling sedikit, dan warna lemak putih. Daging kuda yang baik adalah daging berwarna coklat merah sampai hitam kemerahan, serabut ototnya halus dan panjang, lemak berwarna kuning emas, dan diantara serabut tidak ditemukan adanya lemak (Farlys.com). Ciri-ciri daging yang diamati tidak terdapat kesesuaian dengan literatur, hal ini disebabkan daging kuda yang diamati sewaktu hidupnya hanya digunakan sebagai ternak kerja, sehingga tidak ada timbunan lemak didalam dagingnya. Jadi dapat disimpulkan daging kuda yang diamati tidak dalam kondisi baik.
Daging kuda adalah bahan makanan hewani yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut Komunitas Edukasi Dan Jaringan Usaha (2012) daging Kuda mengandung energi sebesar 118 kilokalori, protein 18,1 gram, karbohidrat 0,9 gram, lemak 4,1 gram, kalsium 10 miligram, fosfor 150 miligram, dan zat besi 3 miligram.  Selain itu di dalam Daging Kuda juga terkandung vitamin A sebanyak 0 IU, vitamin B1 0,07 miligram dan vitamin C 0 miligram.  Hasil tersebut didapat dari melakukan penelitian terhadap 100 gram Daging Kuda, dengan jumlah yang dapat dimakan sebanyak 100 %.
Daging Babi. Warna daging merah muda, tekstur daging halus, konsistensi daging kenyal, jumlah marbling banyak dan warna lemak kuning. Menurut Tim Dapur DeMedia (2012) ciri-ciri daging celeng atau babi adalah dagingnya berwana lebih pucat, tekstur lemaknya lebih halus, lemaknya tebal, dagingnya lebih menganung air daripada daging sapi, dan aroma daging celeng lebih amis daripada daging sapi. Ciri-ciri daging babi yang diamati terdapat kesesuaian, jadi dapat disimpulkan daging babi yang diamati berada dalam kondisi baik. Menurut Setyawan (2011) daging babi terdiri dari lemak 0,81 %, kolesterol 85,17 %, protein 21,05%, dan air 74.94.
Perbedaan antara hasil pengamatan dan literatur disebabkan kualitas daging yang dipakai bukan daging dengan kualitas baik. Hal ini disebabkan lamanya penyimpanan (pengawetan) dengan cara didinginkan dan perendaman. Hal lain yang mempengaruhi kualitas daging yaitu proses penyembelihan yang tidak memakai prosedur yang benar.
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelahpemotongan. Faktor yang mempengaruhi kualitas daging sebelum pemotonganmeliputi genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan (termasukbahan aditif) dan stress (Soeparno, 2005). Formulasi pakan dapat mempengaruhikualitas daging, komposisi daging dan umur simpan. Metode pemberian pakan padaternak juga dapat mempengaruhi warna, kualitas, flavor dan oksidasi lemak padadaging (O’Sullivan et al., 2004).
Faktor yang mempengaruhi kualitas daging setelahpemotongan yaitu metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkasdan daging, bahan tambahan (enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik),lemak intramuskuler (marbling), metode penyimpanan dan preservasi, jenis ototdaging serta lokasi anatomis (Soeparno, 2005; Lawrie, 2005). Faktor kualitas dagingkonsumsi terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma (bau,7cita rasa dan juiceness). Selain itu, lemak intramuskuler, susut masak (cooking loss),retensi cairan dan pH daging ikut menentukan kualitas daging (Soeparno, 2005).













KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan kandungan gizi daging sebagian besar terdiri dari air (65-80%), protein (16-22%), lemak (1,3-13%), substansi non-protein nitrogen (1,5%), karboidrat dan mineral besar 1%. Berdasarkan ciri-ciri yang diamati daging sapi, babi, kerbau, dan kambing berada dalam kondisi baik, sementara daging domba dan kuda tidak dalam kondisi baik.






























DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jendral Peternakan. 2005. Lokakarya Pengembangan dan Peningkatan Produksi Ternak Kerbau serta Potensi Peluang dan Tantangan Usaha TernakKerbau Mendukung Agribisnis Peternakan. Direktorat Jendral Peternakan,Bogor.

Lawrie, R. A. 2005. Ilmu daging. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Maruddin, F. 2004. Kualitas Daging sapi Asap pada Lama Pengasapan dan Penyimpanan. J Sains. Tekhnol. Bogor.

O’Sullivan, A., K. O’Sullivan, K. Galvin, A. P. Moloney, D. J. Troy dan J. P. Kerry.2004. Influence of concentrate composition and forage type on retailpackaged beef quality. J. Anim. Prod.

Rahmat, N., H. Nuraini, P. B. Mahyuddin. 2008. Penampilan Produksi Dan Kualitas Daging KerbauDengan Penambahan Probiotik, KunyitDan Temulawak Pada PakanPenggemukan. Program Studi Teknologi Hasil TernakFakultas PeternakanInstitut Pertanian Bogor.

Riyanti, GW. 2007. Cerdas dan Kreatif Panduan Cerdas dan Lengkap Seputar Rumah. Qultum Media. Jakarta.

Rostini, Tintin. 2011. Upaya Meningkatkan Kualitas Daging Kambing Kacang Melalui Penggunaan Silase Ransum Komplit Berbahan Baku Lokal. Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan Banjarmasin

Setyawan, Budi S. 2011. Beternak Domba dan Kambing. PT AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Soeparno. 1998. Ilmu dan teknologi Daging gadjah mada University Press, Yogyakarta.

Sugiyono. 1996. Ilmu dan Pangan. Jurusan Pendididkan Kesjahteraan keluarga. FPTK IKIP Yogyakarta.

Suryati, et., al. 2006. Suplement to Meat inpection. Rigby Publisher Limited Adelaide.

Tim Dapur DeMedia. 2012. Masakan Daging Sapi Nusantara. DeMedia Pustaka. Jakarta


ACARA III
UJI KUALITAS FISIK

TINJAUAN PUSTAKA

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pH daging seperti yang dikemukakan Soeparno (2005), stres sebelum pemotongan, seperti iklim, tingkah laku agresif diantara ternak sapi atau gerakan yang berlebihan, juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap penurunan atau habisnya glikogen otot dan akan menghasilkan daging yang gelap dengan pH yang tinggi (lebih besar dari 5,9). Nilai pH daging ini perlu diketahui karena pH daginga akan menentukan tumbuh dan berkembangnya bakteri. Hampir semua bakteri tumbuh secara optimal pada pH sekitar 7 dan tidak akan tumbuh persis dibawah pH 4 atau diatas 9, tetapi pH untuk pertumbuhan optimal ditentukan oleh kerja stimulan dari berbagai variabel lain di luar faktor keasaman itu sendiri (Lawrie, 1998).
Pengujian daya mengikat air merupan pengujian untuk mengetahui seberapa besar daging tersebut mampu mengikat air bebas. Daya Mengikat Air (DMA) diukur dengan menggunakan metode penekanan Hamm (T. Suryati, 2006). Selain itu menurut muchtadi (1992), parameter yang dapat digunakan untuk melihat daya mengikat air pada daging dapat dilakukan dengan melihat tingkat kelembaban daging, daging yang lembab mengindikasikan bahwa daya mengikat daging tersebut terhadap air cukup tinggi, sedangkan daging yang agak kering mengindikasikan daya mengikat daging tersebut telah berkurang, hal ini biasanya ditandai dengan penampakan warna daging yang agak kehitaman (daging DFD).
Penurunan nilai daya ikat air oleh protein daging, dan pada saat penyegaran kembali (thawing) daging beku, terjadi kegagalan serabut otot menyerap kembali semua air yang mengalami translokasi atau keluar pada saat penyimpanan beku (Lawrie, 1995). Proses pembekuan juga dapat meningkatkan kerusakan protein daging, sehingga daya ikat air terhadap protein daging akan semakin lemah, yang akan menyebabkan nilai daya ikat air (Purnomo, 1996). Hal ini juga akan terlihat pada banyaknya cairan yang keluar (drip) pada saat daging beku tersebut di thawing. Semakin tinggi cairan yang keluar dari daging menunjukkan bahwa nilai daya ikat air oleh protein daging tersebut semakin rendah. Penurunan nilai daya mengikat air juga dapat meningkatkan nilai susut masak (Soeparno, 2005).
Nilai susut masak merupakan nilai massa daging yang berkurang setelah proses pemanasan atau pengolahan masak. Nilai susut masak ini erat kaitannya dengan daya mengikat air. Semakin tinggi daya mengikat air maka ketika proses pemanasan air dan  cairan nutrisipun akan sedikit yang keluar atau yang terbuang sehingga massa daging yang berkurangpun sedikit. Menurut Suryati et., al (2006) daging yang mempunyai angka susut masak rendah, memiliki kualitas yang baik karena kemungkinan keluarnya nutrisi daging selama pemasakan juga rendah. Daging beku atau disimpan dalam suhu dingin cenderung akan mengalami perubahan protein otot, yang menyebabkan berkurangnya nilai daya ikat air protein otot dan meningkatnya jumlah cairan yang keluar (drip) dari daging (Lawrie, 1998).
Keempukan daging merupakan faktor penting dalam pengolahan daging. Keempukan dapat diukur dengan nilai daya putus Warner-Bratzler (WB). Keempukan sangat berkaitan erat dengan status panjang sarkomer otot. Daging dengan sarkomer yang lebih pendek setelah fase rigormortis memiliki tingkat kealotan lebih tinggi dibanding yang sarkomernya tidak mengalami pemendekan (Muchtadi, 1992). Kualiatas daging akan berpengaruh pada penyimpanan suhu dingin, dan penyimpanan pada suhu dingin dapat mengakibatkan terjadinya pemendekan otot (T. Suryati, 2004).



MATERI DAN METODE

Materi
            Alat. Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah pH meter merek Hanna, beaker glass 50 ml, pengaduk kaca, plastik poliethylene, timbangan analitik, panci, kertas saring,  plastik mika, kertas milimeter blok, spidol permanen, barbol 35 kg, stop watch, plat kaca, pisau, jangka sorong, dan alat ujii keempukan (warner-bratzler).
            Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah daging sapi, aquades, dan larutan buffer pH 7,0.

Metode
Uji nilai pH. Daging seberat 2 gr dicincang dan dimasukkan kedalam beaker, lalu ditambah 18 ml aquades, diaduk hingga homogen. pH diukur dengan pH meter (pH meter sebelumnya telah dikalibrasi dengan larutan buffer pH 7,0) kedalam beaker gelass dan ditunggu hingga pH daging konstan. Pengukuran dilakukan dengan pengulangan sebanyak tiga kali kemudian hasilnya dirata-rata.
Uji susut masak. Daging sapi dipotong searah serat dan ditimbang sebanyak lebih kurang 25 gr (X). Daging dimasukkan kedalam plastik poliethylen dan dikemas vakum dengan mesin vakum. Daging dimasak dengan menggunakan kompor pada suhu 900 selama 30 menit (sampai matang atau warnanya sudah terlihat coklat). Daging kemudian didinginkan (thawing) masih dalam keadaan tertutup menggunakan air mengalir. Daging dikeluarkan dari plastik poliethylen dan di lap dengan kerts tisue, ditimbang berat ahir (Y).
            Susut masak (%) = X-Y x 100%
                                                X
Uji daya ikat air (DIA). Daging dipotong dan ditimbang seberat lebih kurang 0,3 gr, kemudian diletakkan diatas kertas saring bebas air diantara dua plat kaca, diberi bahan seberat 35 kgselama 5 menit. Area basah yang terbentuk digambar  diatas plastik mika, luas basah yang terbentuk digambar diatas plastik miimeter blok. Berat air yang dilepaskan selama pengepresan dapat dihitung.dengan rumus:
            Mg H2O = Luas area basah (cm2) – 8
                                    0,0948
Sehingga kadar ai bebas dapat dihitung  dengan rumus:
            Kadar Air Bebas = mg H2O x 100%
                                                300
            Sampel daging sebanyak lebih kurang 1 gr (X) ditimbang, dimasukkan kedalam botol tmbang yang telah diketahiu bera kosong (Y). Sampel dioven selama 1050C (12 jam), didinginkan dan ditimbang samapi beratnya konstan (Z). Kadar air sampel dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
            KAT = X+Y-Z x 100%
                            X
            DIA = kadar Air total – Kadar Air Bebas
Uji keempukan. Sampel daging dari uji susut masak dipotong searah serat dan dengan ukuran 0,67 cm lebar 1,5 cm. Sampel diletakkan pada alat uji keempukan warner–braztler. Pengujuan dilakkukan di tiga bagian kemudian hasilnya dirata-rata.














HASIL DAN PEMBBAHASAN

Uji warna daging. Berdasarkan hasil pengamatan pada warna daging dapat diketahui  hasilnya sebagai berikut:
Tabel 3.1 Warna daging
No
Sampel
Skor warna
1
Daging 1
tiga
            Warna daging pada praktikum yang dilakukan menunjukkaan skor warna tiga, yaitu warna merah yang terang. Warna merupakan salah satu indikator kualitas daging meskipun warna tidak mempengaruhi nilai gizi. Warna daging dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen. Penentuan warna tergantung dari konsentrasi mioglobin. Warna daging tergantung dari tipe molekul mioglobin, kondisi kimia, fisik serta komponen lain dalam daging. Pengaruh pigmen kromoprotein, hemoglobin, sitokrom, flavin dan vitamin B12 relatif sangat kecil. Kualitas warna tidak mempengaruhi nilai gizi daging, tetapi daging yang berwarna kuning cenderung berkualitas rendah. Lemak marbling tidak mempengaruhi mioglobin dan hemoglobin, tetapi lemak daging segar kadang-kadang berwarna kuning karena akumulasi pigmen karotenoid di dalam jaringan (Nurwantoro et al, 2003). Jadi dspst disimpulkan sapi yang diamati dalam kondisi baik.
Uji pH daging.  Berdasarka hasil pengamatan yang dilakukan terhadap uji pH daging diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 3.2 pH daging
No
sampel

pH

Rata-rata
I
II
III
1
Daging1
6,2
6,3
6,4
6,3
2
Daging 2
6,5
6,6
6,3
6,46
            pH daging pada pengamtan uji pH daging diperoleh hasil dengan rata-rata 6,3 untuk daging 1 dan 6,46 untuk daging 2. Menurut Soeparno (2005), derajat keasaman pH mempunyai terhadap mutu daging. Daging yang derajat keasamannya 5,1 sampai 6,1 berwarna merah cerah, cita rasa baik, tidak mudah rusak, dan punya struktur yang terbuka, sedangkan daging yang mempunyai pH 6,2 sampai 7,2 berwarna merah tua, rasanya kurang enak, lebih mudah busuk, dan strukturnya padat. pH Ultimat normal daging postmortem adalah sekitar 5,4 sampai 5,8 yang sesuai titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril. Jadi daging yang diamati berada diatas kondisi normal, sehingga dapat disimpulkan daging tersebut kurang baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi stress sebelum pemotongan antara lain injeksi hormon/obat-obatan, spesies, individu ternak dan macam otot, stimulasi listrik, aktivitas enzim dan terjadinya glikolisis (Nurwantoro et al, 2003).
Uji susut masak. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap uji susut masak diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 3.3 Susut masak daging
No
Sampel
Berat awal
Berat ahir
Susut masak (%)
1
Daging 1
25,89
14,70
43,2
2
Dagi ng 2
25,70
14,31
44,3
Berdasarkan praktikum, didapat hasil rata-rata untuk nilai susut masak daging sapi. Sampel satu memiliki susut masak sebesar 43,2% dan sampel dua memiliki susut masak sebesar 44,3%. Susut masak berkisar antara 1,5 – 54,5% (Nurwantoro et al, 2003). Jadi daging tersebut berada dalam kondisi normal dan kualitas baik. Menurut Lawrie (1998), faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan lelehan (weep) atau (drip) dari daging yang dimasak juga dapat digunakan untuk kapasitas memegang air dari daging yang dimasak. Kehilangan yang disebabkan oleh pengkerutan pada waktu memasak akan lebih besar jumlah kehilangan ditentukan oleh kondisi-kondisi luar misalnya metode, waktu dan suhu pemasakan, karena suhu tingga yang terlibat akan menyebabkan denaturasi protein dan banyak menurunkan kapasitas memegang air
Menurut Suryati et., al (2006), susut masak menunjukkan perbedaan nyata, selama pemasakan daginga akan membuat jaringan ikat kolagen mengalami perubahan menjadi gelatin. Sebelum mengalami gelatin serabut kolagen jaringan iakt mengalami pengkerutan dan menekan keluar cairan yang terkandung dalam protein miofibril.
Uji daya ikat air (DIA). Berdasarkan pengamatna yang dilakukan terhadap ji daya ikat air, diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 3.4 Hasil uji daya Ikat Air
Sampel
Kadar air basah
Kadar air total
%DIA
Luas air basah
Mg H2O
KAB
berat sebelum oven
berat stelah oven
KAT
Daging Sapi
25 cm
350,4
75,2
1 gram
1,64 gram
84%
8,8%
            Daya ikat air yang diperoleh dari hasil praktikum yaitu 8,8%. Rata-rata daya ikat air daging yaitu 84,46 % ± 5,8 (Naibaho, 2013). Jadi dapat disimpulkan daging tersebut memiliki kualitas yang kurang baik.Daya ikat air dipress denagn menggunakan beban 35 kg, metode ini sesuai dengan metode Hamm (1972) karena dengan beban tersebut air daging yang bebas dapat bebas secara sempurna setelah pengepresan dilakukan. Menurut Soeparno (2005), Mg H2O sangat bergantng dengan jumlah area basah. Hasil praktikum menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai area basah maka kadar air bebas juga semakin besar. Pemasakan menyebabkan perubahan adanya solubilitas protein daging. Temperatur tinggi meningkatkan protein dan menurunkan DIA. Suhu yang digunakan pada praktikum adalah 1050 selama 24 jam, hal ini karena berat daging telah konstan. Hal-hal yang dapat mempengaruhi DIA adalah pemasakan dengan cara dioven, temperatur antara 30 sampai 400C, protein miofibrilmulai mengalami koagulasi sempurna pada suhu 600C juga menghasilkankenyataan jus daging yang lebih kecil  dari pada pemasakan suhu 1050C.
Uji keempukan daging. Berdasarka hasil pengamatan pada uji keempuka daging, diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 3.5 Hasil uji keempukan daging
No
Sampel

Keempukan

Rata-rata


I
II
III

1
Daging 1
6,6
6,6
7,5
6,9
2
Daging 2
5,2
4,9
5,4
5,16
Pengujian keempukan daging, sampel yang digunaka dari uji susut masak dipotong searah serat dan dengan ukuran tenal 0,67, lebar 1,5 cm (kedua sampel). Pengujian dilakkukan di tiga bagiandan dihasilkan rata-rata 6,9 untuk sampel daging 1 dan 5,16 untuk sampel daging 2. Menurut Lawrie (1998) daging yang alot memiliki nilai 8,343. Perbedaan ini dapat terjadi karena beberapa sebab, misalnya pada kelompok 4 pada saat pengujian di Warner-Blatzer memotong seratnya dipinggir, atau pada waktu pemotongan masih panas seratnya sehinggga seratnya masih mengembang dan menyebabkan daging empuk.
Menurut Soeparno (2005), keempukan bervariasi di antara spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas, dan di antara otot, serta pada otot yang sama. Dging segar yang telah mengalami pelayuan biasanya mengalami peningkatan keempukan dan flavour daging. Hubungan antara pH, DIA, susut masak dan keempukan meliputi penyimpangan nilai pH akan menunjukkan penyimpangan terhadap kualitas daging karena berkaitan dengan warna.
Daging sebagai sumber protein hewani memiliki nilai hayati yang tinggi, komposisi daging relatif mirip satu sama lain, yaitu mengandung 19% protein, 5% lemak, 70% air, 3,5% zat-zat  non protein dan 2,5% mineral dan bahan-bahan lainnya (Purnomo, 1998), Protein merupakan komponen kimia terpenting yang ada di dalam daging. Protein yang terkandung di dalam daging, seperti halnya susu dan telur, sangat tinggi mutunya.
 Komposisi daging menurut Lawrie (1998) terdiri atas 75% air, 18% protein, 3,5%  lemak dan 3,5% zat-zat non protein yang dapat larut. Secara umum, komposisi  kimia daging terdiri atas 70% air, 20% protein, 9% lemak dan 1% abu. Jumlah ini  akan berubah bila hewan digemukkan yang akan menurunkan persentase air  dan protein serta meningkatkan persentase lemak (Maruddin, 2004).



























KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa warna daging yang diuji dengan meatcolourstandard menunjukkan daging pada warna No. 3. Warna tergantung dari konsentrasi mioglobin. Uji pH daging sapi pertama dan daging sapi kedua menunjukan rata-rata pH sebesar 6,3. Uji susut masak adalah 43,2%. Daya ikat air daging adalah 8,8 %. Daging sapi pertama memiliki nilai keempukan sebesar 6,9 sedangkan daging sapi kedua memiliki nilai keempukan sebesar 5,10. Jadi kedua jenis daging yag diamati merupakan jenis daging yang kurang baik, karena memiliki pH yang tinggi, daya ikat air yang rendah, susut masak tinggi dan nilai keempukan rendah.



















DAFTAR PUSTAKA

Lawrie, R.A. 1998. Ilmu Daging Edisi Kelima. Penerjemah Aminuddin Parakkasi. Universitas Indonesia. Jakarta

Maruddin, F. 2004. Kualitas Daging Sapi Asap pada Lama Pengasapan dan Penyimpanan. Jurnal Sains Teknologi.

Muchtadi, D., Nurheni, SP., Astawan. 1992. Metode Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. PAU pangan dan Gizi IPB Bogor.

Nurwantoro, et al. 2003. Buku Ajar Dasar Teknologi Hasil Ternak. Semarang: Universitas Diponegoro.

Purnomo, H. 1998. Dasar–dasar Pengolahan dan Pengawetan Daging. PT Grasindo. Jakarta.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Suryati, Budi A.N, Srikandi. 2006. Supplement to meat Inspectioan. Rig by Publisher Limited. Adelaide.












LAMPIRAN
Perhitungan:
Uji susut masak:
Kadar air bebas = Luas area bebas (cm2)
                                                0,0948
                            = 25
                               0,0948
                            = 255,7
Sehingga kadar air bebas dapat dihitung sebagai berikut:
Kadar Air Beabas = mgH2O x 100%  
                                    Berat daging (mg)
                               = 255,7 x 100%
                                    340
                               = 75,2

Kadar Air Total
KAT = X+Y-Z x 100%
               X
        = 1+0,64-0,34 x100%
                0,34
        = 81%

DIA
DIA = Kadar air total – kadar air bebas
       = 81% - 75,2%
       = 8,8%









ACARA IV
PEMBUATAN DENDENG

TINJAUAN PUSTAKA

Daging adalah semua bagian tubuh ternak yang dapat dan wajar dimakan termasuk jaringan-jaringan dan organ tubuh bagian dalam seperti hati, ginjal, dan lain-lain. Soeparno (2005) mendefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Dengan didasarkan pada definisi tersebut maka organ-organ dalam (jeroan) dan produk olahan seperti corned termasuk dalam kategori daging. Namun demikian sering dalam kehidupan sehari-hari yang disebut dengan daging adalah semata-mata jaringan otot, meskipun benar bahwa komponen utama penyusun daging adalah otot, tetapi tidaklah sama otot dengan daging.
Dendeng merupakan salah satu bentuk hasil olahan pengawetan daging secara tradisional dan telah banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia sejak dulu. Menurut SNI 01-2908-1992 (Badan Standarisasi Nasioanal, 1992), dendeng merupakan produk makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan atau gilingan daging segar yang telah diberi bumbu dan dikeringkan. Dendeng memiliki cita rasa yang khas, yaitu manis agak asam dan warna yang gelap akibat kadar gulanya yang cukup tinggi. Kombinasi gula, garam, dan bumbu-bumbu menimbulkan bau khas pada produk akhir (Purnomo, 1996).
Dendeng dapat dikategorikan sebagai bahan pangan semi basah karena dendeng memiliki kadar air yang berada dalam kisaran kadar air bahan pangan semi basah, yaitu 25%. Bahan pangan semi basah merupakan campuran suatu bahan pangan ang pada umumnya ditambah dengan bahan pengikat air yang dapat menurunkan daya ikat air produk, sehngga pertumbuhan mikroorganisme terhambat (Purnomo, 1996). Bahan pangan semi basah memiliki aktivitas air antar 0,6 sampai 0,91 (Salguero et al, 1994). Purnomo (1996) mengemukakan, ditinjau dari cara pembuatanya, dendeng dikelompokan menjadi dendeng iris (slicer) dan giling. Komposisi bahan yang digunakan dalam pembuatan dendeng alah daging, gula merah (30%), garam (5%), ketumbar (2%),  bawang putih (2%), sendawa (0,2%), lengkuas (1%), dan jinten (1%) (Hadiwiyoto, 1994). Selama pembuatan dan pengeringan akan terjadi pula pembentukan komponen-komponen citarasa, yang akan menambah rasa dan aroma dendeng menjadi lebih sedap.
Penambahan garam berfungsi sebagai pengawet karena dalam jumlah yang cukup, garam dapat menyebabkan autolysis dan pembusukan serta plasmolisis pada mikroba. Garam meresap kedalam jaringan daging sampai tercepai keseimbangan tekanan osmosis antara bagian dalam dan luar daging (Soeparno, 2005). Selain sebagai penghambat bakteri, garam juga dapat merangsang cita dan penambahan raPenambahan gula merah berfungsi untuk memodifikasi rasa, memperbaiki aroma, warna dan tekstur produk (Lawrie, 1998).
Penambahan gula merah pada abon membuat flavor abon yang khas dan disukai banyak konsumen karena rasa manisnya. Selain itu, gula merah juga dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Kadar gula yang tinggi, yaitu pada konsentrasi 30-40% akan menyebabkan air dalam sel bakteri, ragi, dan kapang akan keluar menembus membrane dan mengalir ke larutan gula, yang disebut osmosis dan mentebabkan sel mikroba mengalami plasmolisis dan pertumbuhannya akan terhambat (Winarno et al, 2004).sa enak pada produk.
Bawang merah digunakan untuk bahan bumbu dapur dan sebagai penyedap rasa dalam masakan. Selain itu bawang merah juga dapat digunakan sebagai obat tradisional karena memiliki efek antiseptik dari senyawa ailin. Senyawa tersebut diubah menjadai asam piruvat, ammonia, dan alicin antimikroba yang bersifat bakterisida (Hadiwiyoto, 1994).
Ketumbar adalah rempah-rempah kering berbentuk bualat dan berwaarna kuning kecoklatan, memiliki rasa gurih dan manis, berbau harum, dan dapat membangkitkan kesan sedap di mulut (Farrell, 1990). Ketumbar memiliki aroma rempah-rempah dan terasa pedas. Minyak dari biji ketumbar terutama mengandung d-linalol, stironelol, bermacam-macam ester, keton, dan aldehida. Lengkuas memiliki dua warna, yaitu putih dan merah, dan dua ukuran, yaitu kecil dan besar. Lengkuas mengandung beberapa minyak atsiri, diantaranya kamfer, galang, galangol, philandren, dan mungkin juga curcumin. Minyak atsiri tersebut menghasilkan aroma yang khas (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan dengan cara menguapkannya dengan menggunakan energi panas (Winarno et al, 1984). Prisip pengeringan yaitu mengurangi kadar air bahan sehingga aktivitas mikroorganisme menurun. Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dengan volume menjadi lebih kecil, berat bahan berkurang. Kerugian yang terjadi yaitu perubahan sifat fisik dan kimia dari suatu produk. Teknik-teknik pengawetan dengan pengeringan menyangkut: 1) Pembatasan aktivitas air dengan pengeringan; 2) Penggunaan garam dan gula untuk mengendalikan kegiatan air lebih lanjut dan berfungsi sebagai penghambat selektif terhadap kegiatan enzim dan mikroorganisme; 3) Penggunaan bumbu-bumbu untuk membatasi perkembangan selanjutnya dari mikroorganisme dan untuk memberikan rasa yang khas (Lawrie, 2003). Pengeringan juga berperan dalam menciptakan tekstur dan kekenyalan yang khas pada dendeng.






MATERI DAN METODE

Materi
Alat. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan dendeng adalah pisau, chopper, keranjang peniris, penggiling bumbu, timbangan, dan kompor.
Bahan. Bahan-bahan yang digunakan adalah daging sapi segar 125 gram, gula merah 31,25 gram, asam jawa 1,25 gram, bubuk ketumbar 6,25 gram, lengkuas 1,25 gram, garam 2,5 gram dan bawang putih 1,25 gram.

Metode
Metode yang digunakan dalam praktikum ini yaitu daging sapi yang sudah halus ditimbang sebanyak 250 gram dan dimasukkan ke dalam baskom. Bumbu-bumbu ditimbang sesuai resep, yaitu lengkuas 1%, garam 2%, bawang putih 1%, gula merah 25%, asam jawa 1% dan ketumbar 5%. Semua bumbu yang sudah halus dicampurkan ke dalam baskom lalu diaduk selama kurang lebih 10 menit sampai adonan benar-benar rata. Adonan yang sudah tercampur rata kemudiaan diletakkan diatas kertas aluminium foil kemudian ditipiskan di atas loyang sampai kurang lebih tebalnya 3 mm. adonan yang sudah ditipiskan dijmur di bawah sinar matahari slama 7 jam/hari selama 3 hari. Pngeringan juga dapat mnggunakan oven, setelah kering dendeng dapat diolah lebih lanjut dan dikemas.
Uji sensoris. Produk dendeng diuji sensoris sesuai dengan kriteria yang ada dan dibandingkan dengan kontrol produk yang berasal dari pabrik.



HASIL DAN PEMBAHASAN

Dendeng merupakan produk makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan atau gilingan daging segar yang telah diberi bumbu dan dikeringkan. Dendeng memiliki cita rasa yang khas, yaitu manis agak asam dan warna yang gelap akibat kadar gulanya yang cukup tinggi. Kombinasi gula, garam, dan bumbu-bumbu menimbulkan bau khas pada produk akhir (Purnomo, 1996).
Berdasarkan hasil praktikum pada pembuatan denden diperoleh hasil, sebagai berikut:
Tabel 4.1  Pembuatan Dendeng
Bahan
Berat (gram)
Persentase (%)
daging
125
65
garam
2,5
2
gula merah
31,25
25
bawang putih
1,25
1
asam jawa
1,25
1
Ketumbar
6,25
5
Lengkuas
1,25
1
Total
168,75
35
Menurut Hadiwiyoto (1994), ditinjau dari cara pembuatanya, dendeng dikelompokan menjadi dendeng iris (slicer) dan giling. Komposisi bahan yang digunakan dalam pembuatan dendeng alah daging, gula merah (30%), garam (5%), ketumbar (2%),  bawang putih (2%), sendawa (0,2%), lengkuas (1%), dan jinten (1%).Berdasarkan pada praktikum yang dilakukan pembuatan dendeng menggunakan daging yang sudah digiling kemudian decampur dengan bumbu-bumbu yang telah disediakan. Bumbu-bumbu yang digunakan pada praktikum sedikit berbeda dengan literatur, karena tidak menggunakansendawa dan jinten.
Menurut Soeparno (2005), dendeng merupakan salah satu bahan pangan yang bergizi tinggi disamping telur, susu dan ikan. Komposisi yang terdiri dari 75% air, 18% protein, 4% protein yang dapat larut (termasuk mineral) dan 3% lemak. Ternak rata-rata menghasilkan karkas 55%. Daging yang baik ditentukan warna, bau, penampakkan, dan kekenyalan. Menurut Winarno (2004), daging yang sudah dijadikan dendeng akan lebih tahan lama. Produk jenis ini membutuhkan bahan tambahan dalam proses pembuatannya. Bumbu yang ditambahkan pada daging olahan tersebut berperan sebagai penambah cita rasa, pengawetan, pewarna dan anti oksidan.
Pengawetan daging merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jangka waktu yang cukup lama agar kualitas dan kebersihannya tetap terjaga. Beberapa cara pengawetan daging yitu pendinginan, pelayuan, pengasapan, pengeringan, pengalengan, dan pembekua (Winarno, 2004). Pengawetan dengan cara pengeringan dilakukan dengan cara penambahan garam, gula, dan bahan kimia seperti nitrat (NO3) dan nitrit (NO2). Penambahan garam untuk pengawetan daging kira-kira sepersepuluh dari berat daging. Disamping sebagai pengawet garam juga berfungsi sebagai penambah rasa (Winarno, 2004). Menurut Dewi (2008), Nitrat dan nitrit ditambahkan pada pembuatan dendeng untuk menhasilkan warna merah cerah dan menghambat perkembangan mikrobia. Lengkuas, ketumbar, dan bwang putih merupaka bumbu yang umum ditambahkan pada dendeng dan memiliki aktivitas untuk antioksidan.
Fungsi penambahan bahan-bahan (bumbu) secara keseluruhan yaitu untuk cita rasa, aroma dan warna, slain itu bumbu juga digunakan sebagai pengawet. Menurut Soeparno (2005), penambahan garam berfungsi sebagai pengawet karena dalam jumlah yang cukup, garam dapat menyebabkan autolysis dan pembusukan serta plasmolisis pada mikroba. Garam meresap kedalam jaringan daging sampai tercepai keseimbangan tekanan osmosis antara bagian dalam dan luar daging, selain sebagai penghambat bakteri, garam juga dapat merangsang cita dan penambahan rasa enak pada produk. Menurut Aberle et al. (2001) garam yang ditambahkan pada daging yang digiling akan meningkatkan protein myofibril yang terekstraksi. Protein ini memiliki peranan penting sebagai pengemulsi. Fungsi garam adalah menambahakan atau meningkatkan rasa dan memperpanjang umur simpan produk. Menurut Potter (1996) Garam juga bersifat bakteriostatik dan bakteriosidal, sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan mikroba pembusuk lainnya Garam mampu memperbaiki sifat-sifat fungsional produk daging dengan cara mengekstrak protein miofibriler dari serabut daging selama proses penggilingan dan pelunakan daging.
Pembuatan dendeng menggunakan bahan-bahan diantaranya gula merah dan asam jawa. Penambahan gula pada dendeng berfungsi untuk melunakkan melalui jalan mencegah penguapan air dan tidak begitu kering sehingga lebih disukai konsumen (Soeparno, 2005). Penambahan gula merah pada dendeng berfungsi memodifikasi rasa, memperbaiki aroma, warna dan tekstur produk. Kadar gula yang tinggi, yaitu pada konsentrasi 30-40% akan menyebabkan air dalam sel bakteri, ragi dan kapang akan keluar menembus membran dan mengalir ke dalam larutan gula, yang disebut osmosis dan menyebabkan sel mikroba mengalami plasmolisis dan pertumbuhannya akan terhambat (Winarno, 2004).
Bawang putih dapat digunakan sebagai bahan pengawet karena bersifat bakteriostatik yang disebabkan oleh adanya zat aktif alicin yang sangat efektif terhadap bakteri, selain itu bawang putih mengandung scordinin, yaitu senyawa komplek thioglisidin yang bersifat antioksidan (Palungkun dan Budhiarti, 1995). Ketumbar adalah rempah-rempah kering berbentuk bualat dan berwaarna kuning kecoklatan, memiliki rasa gurih dan manis, berbau harum, dan dapat membangkitkan kesan sedap di mulut (Farrell, 1990). Lengkuas memiliki dua warna, yaitu putih dan merah, dan dua ukuran, yaitu kecil dan besar. Lengkuas mengandung beberapa minyak atsiri, diantaranya kamfer, galang, galangol, philandren, dan mungkin juga curcumin. Minyak atsiri tersebut menghasilkan aroma yang khas (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Teknik pengeringan dendeng akan menentukan lama pengeringan dan biaya produksi . Suatu penelitian yang mengamati cara pengeringan dendeng yakni antara yang dikeringkan dengan sinar matahari dan dioven dengan suhu 60°C tidak mendapatkan pengaruh yang nyata terhadap mutu gizi clan preferensi dendeng (Purnomo,1996). Menurut Prayitno et al. (2012) Cara pengeringan dengan sinar matahari. Keuntunganya adalah murah, bersih dan sederhana tetapi kerugianya yaitu sangat tergantung pada cuaca. Pengeringan dapat dilakukan dengan oven pengering pada suhu dan waktu pengeringanya dapat diatur serta kontaminasi oleh bakteri dapat dicegah namun hal ini menambah biaya produksi. Pengeringan dengan sinar matahari membutuhkan waktu kurang lebih 22 jam sehingga dibutuhkan waktu 2 sampai 3 hari untuk mendapatkan dendeng kering. Pengeringan dengan sinar matahari yang mendekati itu adalah jika menggunakan oven pengerin pada suhu 500C.  Proses ini memerlukan waktu kurang lebih 15 jam.
Kadar air yang dikurangi pada bahan pangan mengakibatkan kandungan protein, karbohidrat, lemak dan mineral dalam konsentrasi yang lebih tinggi akan tetapi vitamin–vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang . Proses pembuatan dendeng dan penambahan bumbu-bumbu menimbulkan reaksi maillard. Reaksi Maillard terjadi antara gugus amin (asam amino) dan gula pereduksi (gugus keton atau aldehidnya). Pada akhir reaksi terbentuk pigmen coklat melanoidin yang memiliki bobot molekul besar. Reaksi yang diawali dengan reaksi antara gugus aldehid atau keton pada gula dengan asam amino pada protein ini membentuk glukosilamin. Selain gugus aldehid/keton dan gugus amino, faktor yang memengaruhi reaksi Maillard, adalah suhu, konsentrasi gula, konsentrasi amino, pH, dan tipe gula. Berkaitan dengan suhu, reaksi ini berlangsung cepat pada suhu 100oC namun tidak terjadi pada suhu 150oC.
Uji sensoris. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap praktikum pembuatan dendeng dan dilakukan uji sensoris, maka diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 4.2 Uji Sensoris
No
Parameter
Hasil
Kontrol
1
Warna
Coklat
Coklat kemerahan
2
Rasa
Enak
Enak
3
Tekstur
Kasar
Lembut
4
Keempukan
Kurang empuk
Empuk/pas
5
Daya Terima
Diterima
Diterima
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diketahui dendeng yang dibuat memiliki warna coklat dengan tekstur sedikit lebih keras, rasaenak, keempuka pas, dan rasa agak manis serta daya terima dapat diterima. Dendeng kontrol memiliki warna coklat lebih terang dengan rasa enak, tekstur kasar, dan rasa enak serta daya terima dapat diterima. Ciri-ciri dendeng yang baik adalah warna dendeng merah coklat sampai coklat, bersih, aromanya sedap, tekstur tidak liat, agak kering, dan rasa agak manis dan gurih (Widati dkk, 1997). Daya terima dendeng hasil praktikum dengan dendeng kontrol masing-masing dapat diterima.












KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang dilakukan terhadap pembuatan dendeng dapat disimpulkan bahwa dendeng merupakan produk olahan daging secara tradisional yang merupakan kombinasi kyuring dan pengeringan. Bahan dasar yang digunakan yaitu daging sapi segar, garam, lengkuas, bawang putih, gula merah, asam jawa dan ketumbar. Persentase komposisi bahan yang digunakan dapat menyesuaikan sesuai keinginan konsumen/standar dari pabrik. Semua bahan dicampur dan digiling tipis kemudian dikeringkan, dendeng siap digoreng dan disajikan.





















DAFTAR PUSTAKA

Aberle, H. B. Forrest, J. C., E. D. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel.
            2001.Principle of Meat Science. 4th Edit. Kendal/Hunt Publishing, lowa.

Dewi, E. N., dan ratna Ibrahim. 2008. Mutu dan Daya Simpan Fillet Dendeng Ikan Nila Merah yang Dikemas Hampa Udara dengan Vacum Seder skala Rumah Tangga. Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Dipenogoro. Semarang.

Farrel, K.T. 1990. Spices, Condiments and Seasoning 2nd Ed. Van Nostrad Reinhold, New York .

Hadiwiyoto, S. 1994. Studi Pengolahan Dendeng dengan Oven Pengering Rumah Tangga. Buletin Peternakan. 18:119-126.

Lawrie, R. A. 2003. Ilmu daging. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Muchtadi, T.R. dan Sugiyono, 1994. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor .

Purnomo, H. 1996. Dasar-dasar Pengolahan dan Pengawetan Daging. PT Grasindo, Jakarta.

Prayitno,A.H., D.P.A. Saputra, A. Kurniati, H.Widyastuti, R. R. Utami,Soeparno dan Rusman. 2012. Pengaruh metode pembuatan pengeringan yang berbeda terhadap  karakteristik Fisik ,kimia dan sensoris dendeng daging kelinci.Buletin Peternakan. Hal 113-121.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Tknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Widati, A.S., M. E. Sawitri, I. Thohari, 1997. Peningkatan Daya Guna Daging Ayam Petelur Afkir Sebagai Produk Dendeng di Kabupaten Blitar. Laporan Penelitian.  Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang.

Winarno F G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta.





ACARA V
PEMBUATAN BAKSO

TINJAUAN PUSTAKA

Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang dibuat dengan cara melumatkan daging kemudian mencampurnya dengan bumbu-bumbu, pati dan air. Campuran tersebut kemudian dibentuk bulat-bulat, lalu dimasak dalam air panas (Lestari, 1991).
Bakso merupakan produk olahan daging yang sangat digemari masyarakat Indonesia. Pada umumnya bakso dibuat dari daging sapi atau babi (Lestari,1991). Bakso adalah olahan daging yang dibuat dengan cara melumatkan daging lalu mencampurkan dengan bumbu-bumbu, filler, air dan bahan tambahan, kemudian direbus dengan air panas (Soeparno, 2005). Biasanya bakso disajikan dalam keadaan panas.
Bakso sesungguhnya merupakan bulatan-bulatan yang terbuat dari daging sapi dan tepung tapioca, namun dalam perkembangannya kemudian sebutan bakso menunjukkan keseluruhan adonan bulatan-bulatan daging beserta kuah, mie, dan bahan lainnya (Lestari, 1991). Bakso merupakan salah satu bentuk hasil olahan ternak yang berasal dari daging dan biasanya disajikan dalam keadaan panas (Lestari, 1991).
Komposisi utama bakso adalah daging ayam, sapi atau ikan. Bahan yang selanjutnya adalah es yang berfungsi sebagai pelarut adonan agar lembut dan menjaga suhu agar tetap dingin sehingga protein dan komponen lain penyusun adonan tidak mudah rusak. Komponen yang selanjutnya adalah tepung / filler yang berfungsi untuk mengisi atau membentuk adonan. Tepung juga berfungsi sebagai penahan air sehingga air tidak mudah lepas. Bumbu yang diperlukan dalam pembuatan bakso antara lain adalah garam, gula, bawang putih, merica dan penyedp rasa. (Yuyun, 2007).


MATERI DAN METODE

Materi
Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum pembuatan sosis dan bakso adalah pisau, telenan, timbangan elektrik, chopper, stuffer, kompor, panci, chopper dan nampan.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum pembuatan sosis dan bakso adalah daging sapi, susu skim bubuk, bawang putih, merica/lada, ketumbar, air es, gula, tepung tapioka dan chasing plastik.

Metode
. Bahan-bahan penunjang dan bumbu-bumbu terdiri dari garam 10 gram, merica 3 gram, bawang putih 3 gram, bawang merah goreng 10 gram, misonyal 0,75 gram, tepung tapioka 62,5 gram, dan air es 37,5 gram dibuat tekturnya halus. Daging dan bahan-bahan penunjang dan bumbu dicampurkan dengan menggunakan tangan dan dilanjutkan dengan menggunakan chopper. Adonan dibentuk bulat-bulat dan direbus pada air panas suhu mendekati mendidih sampai bakso mengapung ke permukaan. Bakso diangkat dan didinginkan dan siap untuk dikonsumsi atau dimasak lebih lanjut.
Uji sensoris. Produk bakso di uji organoleptik yaitu warna, rasa, tekstur keempukan dan daya terima. Lalu dibandingkan dengan kontrol produk yang berasal dari pabrik.
Uji keempukan. Pengukuran keempukan dilakukan dengan menggunakan alat penetrometer merek K.I.C. Sampel diletakkan di bawah jarum penetrator dimana jarum penunjuk disiapkan pada angka 0. Besarnya angka keempukan dapat diketahui dengan membaca angka pada alat dikalikan dengan 1/10 mm.
Uji pH. Pengukuran niali pH dilakukan dengan mengukur pH sampel sosis dengan menggunakan pH meter dan larutan buffer pH 7,0. Bandingkan hasil yang di dapat dengan kontrol.




























HASIL DAN PEMBAHASAN

Bakso merupakan salah satu produk olahan daging sacra tradisional. Bahan baku pembuatan bakso bisa bersala dari dari berbagai jenis ternak, seperti sapi, babi, ayam dan ikan (Purnomo, 1996). Menurt Soeparno (2005), komposisi pembuatan bakso adalah daging sapi. Daging sapi digiling halus dan diberi garam. Garam dan merica merupakan bahan penyedap utama dalam pembuatan bakso. Bumbu-bumbu penunjang lainnya adalah bawang merah goreng, teoung tapioka, bawang putih, misonyal, dan penyedap.
Berdasarkan praktikum pembuatan bakso diperoleh data bahan dan persentase pembuatan bakso adalah sebagai berikut:
Tabel 5.1 Data bahan dan persentase pembuatan bakso
No.
Bahan
Berat
presentase
1
Daging sapi
250 gram
100%
2
Garam
10 gram
4%
3
Merica
3 gram
1,2%
4
Bawang putih
3 gram
1,2%
5
Bawang goreng
10 gram
4%
6
Misonyal
0,75 gram
0,3%
7
Tepung tapioka
6, 25 gram
25%
8
Air es
27 gram

         Jumlah bahan
366,25 gram

            Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum pembuatan bakso terdiri dari daging sapi giling 25 gram, garam 10 gram, merica 3 gram, bawang putih 3 gram, bawang goreng 10 gram, misonyal 0,75 gram, tepung tapioka 6,25 gram, dan air es 27 gram. Menurut Hatta (2012), formulasi dasar bakso yang digunakan adalah daging sapi 70%, es batu 20%, tepung tapioka 10%, garam sesuai yang diperlukan, dan bumbu linnya 1%.
            Bahan pengisi (filler) adalah bahan yang mampu mengikat sejumlah air, tetapi mempunyai pengaruh yang kecil terhadap emulsifikasi, Filler mengandung banyak karbohidrat. Bahan pengisi yang biasa ditambahkan adalah tepung gandum, jagung atau beras (Soeparno, 2005). Contoh filler yang digunakan pada praktikum ini adalah tepubg tapioka. Extender dapat membantu stbilitas emulsi bakso, memperbesar hasil pemasakan, membantu sifat-sifat irisan, dan mengurangi biaya dalam pembuatan produk olahan daging (bakso).
Dalam pembuatan bakso sering ditambahkan isolated soya protein. Penambahan bahan ini berfungsi sebagai bahan binder  atau pengikat yang berfungi sebagai  pengikat antara minyak dan air. Selain itu juga berfungsi untuk mempertahankan kandungan air dalam adonan sehingga adonan menjadi kompak dan lembut (Yuyun, 2007). Contoh binder yang sring digunaka pada pembuatan bakso adalah misonyal.
Air merupakan komponen yang terbesar dalam bakso. Besarnya air yang terkandung dalam bakso tergantung dari banyaknya air yang ditambahkan dalam adonan dan proporsi daging yang digunakan (Triatmojo, 1992). Penambahan air ini juga berfungsi untuk meningkatkan keempukan, jus daging dan menggantikan sebagian air yang hilang selama prossesing panas (Soeparno, 2005).
Penambahan es batu juga bertujuan agar tidak terjadi denaturasi protein dan menyebabkan kejutan temperatur yang berakibat kontraksi mendadak dari serabut otot daging sehingga terjadi kekenyalan khusus (Setiyono,1992). Bumbu yang digunakan berfungsi sebagai penyedap rasa dan anti oksidan . Penambahan bumbu-bumbu erat kaitannya denga selera konsumen. Bahan penyedap dan bumbu, misalnya pala dan bawang putih mempunyai pengaruh preservatif terhadap produk daging karena mengandung lemak (lemak esensial dan substansif yang bersifat bakteriostatik). Bumbu sebagian mempunyai sifat sebagai antioksidan sehingga dapat menghambat terjadinya ransiditas. Penambahan bahan penyedap dan bumbu-bumbu terutama ditujukan untuk meningkatkan flavor (Soeparno, 2005). Rempah-rempah seperti bawang putih dan lada mempunyai efek pengawetan karena efek bakteriostatiknya (Rukamana, 2001). Bumbu-bumbu yang serimg digunakan dalam pembuatan bakso adalah bawang merah, bawang putih, lada, monosodium glutamat, dan hidroksilat protein tanaman (Lestari, 1991).
Uji sensoris. Berdasarkan praktikum pembuatan bakso yang telah dilakukan, diperoleh hasil uji sensoreis sebagai berikut:
Tabel 5.2 Uji sensoris bakso
No
Parameter
Hasil
Kontrol
1
Warna
Coklat
Putih
2
Rasa
Terlalu asin
Pas
3
Tekstur
Kasar
Pas
4
Keempikkan
Terlalu empuk
Pas
5
Daya terima
Diterima
Diterima
Bakso yang berkualitas mempunyai bentuk bulat halus, ukurannya seragam, bersih, tidak kusam, serta tidak berjamur atau berlendir.Warna bakso diperoleh dalam praktikum adalah abu-abu gelap sedangkan kontrol abu-abu cerah. Warna bakso yang berbeda dapatdisebabkan karena adanya formulasi yang tergantung pada karakteristik komposisi dan bahan dasar yang ditambahkan pada produk daging proses (Soeparno, 2005).
Rasa bakso diperoleh dalam praktikum gurih agak asin, namun jika dibandingkan dengan kontrol lebih enak bakso kontrolnya. Cita rasa dikaitkan adanya lemak dan senyawa volatil tertentu. Keseluruhan kesan palabilitas dipengaruhi oleh jus daging karena pengaruh komponen flavor dan terjadi fragmentasi serta pelunakan daging selama pengunyahan (Soeparno, 2005).
Tekstur bakso yang diperoleh dalam praktikum adalah lebih kasar dibandingkan dengan kontrol. Tekstur bakso pada dasarnya dipengaruhi uleh kualitas dan kuantitas daging yang digunakan, metode pengolahan dan bahan-bahan yang ditambahkan. Jaringan ikat dan lemak yang terlalu banyak menyebabkan bakso yang dihasilkan kasar, tidak kompak dan mudah pecah. Selain itu peran dari filler yang ditambahkan juga mempengaruhi tekstur bakso yang dihasilkan (Mead dan Richardson, 2003).
Bakso yang diperoleh dalam praktikum adalah empuk dan kontrol. Menurut Suryati (2008), faktor keempukan diantaranya adalah rabaan oleh tangan, kemudahan dikunyah serta kerenyahan makanan. Untuk itu cara pemasakan bahan makanan dapat mempengaruhi keempukan makanan yang dihasilkan.
Bakso kontrol lebih dapat diterima daripada bakso yang dibuat. Daya terima terhadap suatu makanan ditentukan oleh rangsangan yang timbul oleh makanan melalui panca indera penglihatan, penciuman, pencicipan, dan pendengaran. Namun demikian faktor utama yang akhirnya mempengaruhi daya terima terhadap makanan adalah rangsangan citarasa yang ditimbulkan oleh makanan (Suryati, 2008).
Uji pH. Berdasarkan praktikum yang dilakukan pada pembuatan bakso, diperoleh hasil uji pH adalah sebagai berikut:
Tabel 5.3 Uji pH bakso
No


pH



Sampel
I
II
III
Rata-rata
1
Bakso 1
6,4
6,6
6,5
6,5
2
Bakso 2
6,5
6,6
6,6
6,5
            Berdasarkan praktikum yang dilakukan diperoleh rata-rata nilai pH 6,5 untuk sampel bakso 1 dan bakso 2. Menurut Martin (2001), pH normal bakso adalah antara 5,4 sampai 6,5. Hasil praktikum apabila dibandingkan dengan literatur maka bakso pertama pH-nya berada pada kisaran normal, hal ini disebabkan faktor perlakuan pada saat pembuatan, daging yang digunakan serta bumbu-bumbu yang digunakan. Menurut Lawrie (2003), Bakso adalah salah satu produk emulsi daging yang sangat terkait dengan kemampuannya dalam mengikat air  dan lemak untuk menstabilkan emulsi saat pengolahan dan penyimpanan. Kisaran normal pH bakso adalah 6,5 sampai 7,2.
Uji keempukan. Berdasarkan praktikum yang dilakukan pada pembuatan bakso, diperoleh hasil uji keempukan adalah sebagai berikut:


Tabel 5.4 Uji keempukkan bakso
No
Parameter

keempukan

Rata-rata
I
II
III
1
Bakso 1
25
26
26,5
25,8
2
Bakso 2
24,2
21,3
23,4
22,9
            Berdasarkan hasil praktikum pengukuran keempukan menggunakan alat penetrometer merek KIC denga beban seberat 10 kg. Hasil uji keempukan rata-rata adalah 25,8 untuk sampel bakso 1 dan 22,9 untk sampel bakso 2. Menurut Martin (2001) nilai keempukan normal bakso adalah antara 15 sampai 25. Hasil praktikum apabila dibandingkan dengan literatur maka nilai keempukan sampel kedua bakso masih dalam kisaran normal. Menurut soeparno (2005), fakrtor yang berpengaruh terhadap nilai keempukan adalah jaringan ikat dan lemak yang terdapat dalam produk, juga temperatur yang mempunyai pengaruh bervariasi terhadap daya ikat air oleh protein daging, susut masak, pH, dan kadar jus daging.




KESIMPULAN

Dari hasil praktikum, dapat disimpulkan bahwa cara pembuatan bakso yaitu terdiri dari bahan-bahan daging sapi, garam, merica, bawang putih, bawang goreng, misonyal (extender), tepung tapioka (filler), dan air es. Dalam uji Sensoris bakso, diketahui warna bakso coklat, rasa terlalu asin, tekstur kasar, terlalu empuk dengan rata-rata tingkat pH 6,5 dan  keempukan 25,8 dan dapat diterima. Kedua bakso memiliki daya trima yang baik, karena berdasarkan uji sensoris, uji pH, dan uji keempukan yang dilakukan, hasilnya ada pada kisaran normal, sehingga kualitas bakso dikatakan baik.



















DAFTAR PUSTAKA

Hattaa, M dan E. Marpiningrum. 2012. Kualitas daging Sapi denga Penambahan Garam (NaCl) dan fosfat (Sodium Triposphat/ STTP) pada level dan waktu yang berbeda. Universitas Hasanuddin. Makasar.

Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging Edisi Kelima. Penerjemah Aminuddin Parakkasi. Universitas Indonesia. Jakarta.

Lestari, S.1991. Bisnis Bakso yang Menguntungkan. Media Pertanian DKI, Jakarta .

Martin. 2001. Fortifikasi Temulawak dalam Pembuatan Dendeng guna Meningkatkan Nafsu Makan pada Anak. No 12 45 20 vol 21. 21-22

Mead, G. C. dan Richardson, R. I. 2003. Poultry Meat Science Volume 25. CABI Publishing. New York : USA.

Purnomo, H. 1996. Dasar–dasar Pengolahan dan Pengawetan Daging. PT Grasindo. Jakarta.

Setiyono.1992. Kualitas Fisik dan Komposisi Kimia Bakso Daging Sapi, Ayam, dan Kombinasinya dengan Variasi Aras Sodium Tripoliphospat, Skim milk dan Asam Askorbat. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta.

Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging, cetakan 4. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Suryati, Budi A.N, Srikandi. 2008. Korelasi dan Kategori keempukan Daging berdasarkan harga daging Berdasarkan hasil Pengujian Menggunakan alat dan parelis. IPB, Bogor.

Triatmojo, S. 1992 Pengaruh Level Tepung Tapioka dan Daging Terhadap Mutu Bakso Daging Sapi. Laporan Penelitian UPF Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Yudiastuti, S. 1990. Sifat Fisik dan Sensoris Bakso Ayam Petelur Afkir yang dibuat dengan Berbagai Waktu Simpan setelah Penyembelihan.Tesis Sarjana. Jurusan Pengolahan Hasil Pertanian. Fakultas Teknik Pertanian. UGM. Yogyakarta.


Yuyun, A. 2007. Panduan Wirausaha Membuat Aneka Bakso. Agromedia. Jakarta.
             







ACARA VI
PEMBUATAN SOSIS

TINJAUAN PUSTAKA

Sosis merupakan makanan yang dibuat dari daging yang telah dicincang kemudia dihaluskan dan diberi bumbu-bumbu, dimasukkan kedalam pembungkus buatan, dengan atau tidak dimasak, dengan atau tanpa diasap (Hadiwiyoto, 1994). Menurut SNI (1995), adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dan dengan suatu tanpa penambahan bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukkan ke dalam selubung sosis.
Soeparno (1998), mengungkapkan bahwa pada dasarnya ada 5 kelas sosis yang sudah dikenal yaitu sosis segar, sisis segar yang diasap, sosis masak, sosis kering dan agak kering serta sosis spesialitas daging masak. Saat ini telah banyak berbagai jenis inovasi sosis  untuk meningkatkan nilai nutrisi dan mengikuti selera konsumen. Emulsi adalah suatu sistem dua fase yang terdiri atas suatu dispersi sua cairan atau senyawa yang tidak dapat bercampur, yang satu terdispersi pada yang lain. Cairan yang berbentuk globula- globula kecil disebut fase dispersi atau fase diskontinu, dan cairan tempat terdispersinya globula-globula tersebut disebut fase kontinu. Protein-protein daging yang terlarut bertindak sebagai pengemulsi dengan membungkus atau menyelimuti semua permukaan partikel yang terdispersi (Soeparno,2005).
Kandungan air sosis bervariasi tergantung pada jumlah air yang ditambahkan dan macam daging yang digunakan. Fungsi air adalah untuk meningkatkan keempukan dan juice (sari minyak) daging, melarutkan protein yang mudah larut dalam air, membentuk larutan garam yang diperlukan untuk melarutkan protein laryt garam,berperan sebagai fase kontinu dari emulsi daging, menjaga temperatur produk serta mempermudah penetrasi bahan-bahan curing (Soeparno,2005).
Penambahan bahan pengikat bertujuan untuk meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan daya mengikat air, meningkatkan citarasa, mengurangi pengerutan selama pemasakan serta mengurangi biaya formulasi. Bahan pengikat adalah material bukan daging yang dapat meningkatkan daya mengikat air daging dan emulsifikasi lemak. Bahan pengikat mempunyai protein yang tinggi. Contoh dari bahan pengikat adalah tepung kedelai, isolat protein kedelai serta skim bubuk. (Soeparno,2005).
Penyedap adalah berbagai bahan beik sendiri maupun kombinasi yang ditambahkan pada pembuatan suatu produk yang dapat menambah rasa pada produk tersebut. Garam dan merica merupakan bahan penyedap utama dalam pembuatan sosis (Soeparno, 2005). Bumbu adalah suatu substansi tumbuhan aroatik yang telah dikeringkan dan biasanay sudah dalam bentuk bubuk. Penambahn bumbu pada pembuatan sosis terutama ditujukkan untuk menambah/meningkatkan flavor (Soeparno, 2005). Selain menambah flavor, dalam beberapa hal bumbu juga bersifat bakteriostatik dan antioksidan(Soeparno, 1998).
Selongsong sosis dipakai untuk menentukan bentuk dan ukuran sosis. Selongsong sosis dapat berfungsi sebagai cetakan selama pengolahan, pembungkus selama penanganan dan pengangkutan, serta sebagai media display selama diperdagangkan. Selongsong sosis harus memiliki sifat kuat dan elastis (Pearson dan Tauber,1984). Menurut Suryati (2006), ada lima macam selongsong yang biasa digunakan dalam pembuatan sosis, yaitu: 1) selongsong yang terbuat dari usus hewan, 2) selongsong yang terbuat dari kolagen, 3) selongsong yang terbuat dari selulosa,4) selongsong yang terbuat dari plastik, 5) selongsong yang terbuat dari logam.


MATERI DAN METODE

Materi
Alat. Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah sendok, kompor gas, panci, timbangan elektrik, pisau, stuffer, chopper, dan alat tulis.
Bahan. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sosis adalah daging sapi, susu skim bubuk, bawang putih, merica/lada, ketumbar, garam, air es, gula, tepung tapioka, chasing plastik dan air es, dan minyak goreng.

Metode
Metode pembuatan sosis disiapkan  daging giling sebanyak 25 gram. Bumbu sosis  yang terdiri dari garam 2,2%, bawang putih 0,6%, gula 2%, air es 10%, susu skim 3,3%, dan tepung tapioka 16% disiapkan dan dicampurkan pada daging dalam adonan. Dicampur, adonan dalam baskom, dimikser menggunakan alat mixer, dimasukkan dalam selongsong dan dipadatkan. Apabila dendeng sudah dimasukkan, selongsong diikat sesuai selera dan direbus sampai sosis matang. Setelah direbus, sosis siap untuk diuji oleh panelis.
Uji sensoris. Produk bakso di uji organoleptik yaitu warna, rasa, tekstur keempukan dan daya terima. Lalu dibandingkan dengan kontrol produk yang berasal dari pabrik.
Uji keempukan. Pengukuran keempukan dilakukan dengan menggunakan alat penetrometer merek K.I.C. Sampel diletakkan di bawah jarum penetrator dimana jarum penunjuk disiapkan pada angka 0. Besarnya angka keempukan dapat diketahui dengan membaca angka pada alat dikalikan dengan 1/10 mm.



Uji pH. Pengukuran niali pH dilakukan dengan mengukur pH sampel sosis dengan menggunakan pH meter dan larutan buffer pH 7,0. Bandingkan hasil yang di dapat dengan kontrol.





























HASIL DAN PEMBAHASAN

Beradasarkan praktikkum pembuatan sosis yang dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 6.1 Data bahan dan persentase pembuatan sosis
No.
Bahan
Berat
presentase
1
Daging sapi
250 gram
100%
2
Garam
5,5 gram
2,2%
3
Merica
1 gram
0,4%
4
Bawang putih
1,5 gram
0,6%
5
Ketumbar
1,5gram
0,6%
6
Gula
5 gram
2%
7
8
Susu skim
Tepung tapioka
8,25 gram
40 gram
3,3%
16%
9
Air es
37,5 gram
15%
Jumlah bahan
350,25 gram

            Pembuatan sosis. Pada pembuatan sosis, digunakan campuran daging ayam dan daging sapi, digrinding dan diberi garam. Grinding digunakan untuk mengurangi ukuran partikel daging dan lemak dan untuk pencampuran bahan-bahan yang digunakan. Garam dan merica merupakan bahan penyedap utama dalam pembuatan sosis (Soeparno, 2005).  Ditambah bawang putih, merica dan ketumbar yang merupakan bumbu. Penambahan bahan penyedap dan bumbu, terutama ditujukan untuk menambah atau meningkatkan flavor (Soeparno, 2005).
Fungsi utama penambahan  gula dalam curing adalah untuk memodifikasi rasa dan menurunkan kadar air yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme (Yuyun, 2007). Air dingin dimasukkan, air dingin berfungsi sebagai pelarut adonan agar lembut dan menjaga suhu agar tetap dingin sehingga protein dan komponen lain tidak rusak (Yuyun, 2007).
            Susu skim yang berfungsi sebagai binder (bahan pengikat). Susu skim bubuk ditambahkan dalam pembuatan sosis berfungsi sebagai pengikat (binder) yang dapat meningkatkan daya ikat air sosis dan emulsi lemak, yang mempunyai ciri mengandung protein tinggi (Soeparno, 2005).
Dimasukkan pula tepung tapioka yang berfungsi sebagai pengisi (filler). Filler mengandung karbohidrat dalam jumlah yang relatif tinggi dan protein dalam jumlah yang relatif rendah, sehingga mempunyai kapasitas mengikat air yang besar dan kemampuan emulsifikasi yang rendah (Soeparno, 2005). Tapioka adalah pati yang diperoleh dari umbi tanaman ubi kayu (manihot esculenta, Crantz). Dalam perdagangan lebih dikenal sebagai tapioka flour atau tepung tapioka (Lawrie, 2003).
Dilakukan chopping (peremasan) agar adonan tercampur rata, lalu stuffing, yaitu pemasukan adonan sosis kedalam kasing dilakukan dengan stuffer. Stuffer digunakan untuk menentukan ukutan dan bentuk sosis. Lalu  dilakukan proses pemasakan bahan dengan dikukus yang bertujuan untuk menyatukan komponen adonan sosis yang berupa emulsi minyak air dengan protein myosin daging sebagai penstabilnya. Selain itu juga bertujuan untuk memantapkan warna daging dan untuk menginaktifkan mikrobia (Rukmana, 2001).
Uji sensoris. Berdasarkan praktikum yang dilakukan pada pembuatan sosis, diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 6.2 Uji Sensoris sosis
No
Parameter
Hasil Praktikum
Kontrol
1
Warna
Coklat
Merah
2
Rasa
Enak
gurih
3
Tekstur
Kasar
Halus
4
Keempukan
Empuk
Lebih empuk
5
Daya terima
Diterima
Diterima
Berdasarkan praktikum yang dilakukan, didapatkan sosis dengan coklat, sedangkan pada kontrol berwarna merah. Hal ini disebabkan pada sosis kontrol menggunakan bahan nitrit sebagai pengawet. Menurut Soeparno (2005), nitrit dan nitrat sebagai garam sodium atau potasium dipergunakan dalam daging cured dengan tujuan untuk mengembangkan warna daging menjadi warna merah muda terang dan stabil.
Sosis hasil praktikum memiliki enak atau pas, sedangkan sosis kontrol memiliki rasa yang gurih. Cita rasa dikaitkan dengan adanya lemak dan senyawa volatil tertentu. Keseluruhan besarnya palatabilitas dipengaruhi oleh jumlah daging karena pengaruh komponen flavor dan terjadi fragmentasi serta pelunakan daging selama pengunyahan (Soeparno, 2005).
Sosis hasil praktikum bertekstur agak halus, sedangkan sosis kontrol bertekstur halus. Hal ini dikarenakan faktor penggilingan daging dan pencampuran adonan. Ukuran partikel daging menentukan karakteristik kualitas produk daging (Girard et al., 1992). Sosis hasil praktkum lebih empuk, sedangkan sosis control lebih kenyal. Menurut Soeparno (2005), keempukan daging dipengaruhi oleh beberapa komponen yaitu struktur miofibrilar dan status kontaksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya, dan daya ikat air oleh protein daging dan jus daging.
Menurut pendapat praktikan, baik sosis hasil praktikum maupun sosis kontrol dapat diterima oleh para praktikan. Daya terima merupakan sensasi yang komplek antara flavor yang melibatkan bau, rasa, tekstur, dan aroma dari daging (Soeparno, 2005). Daya terima konsumen terhadap produk yang dihasilkan tidak dapat diukur dan disamaratakan karena sensasi yang dihasilkan oleh tiap individu berbeda, sehingga tidaklah layak untuk merekomendasikan suatu skala standar untuk menilai sifat dari daya terima tiap konsumen (Lawrie, 1995).
Uji pH. Berdasarkan praktikum yang dilakukan pada pembuatan bakso, diperoleh hasil uji pH adalah sebagai berikut:
Tabel 6.3 Uji pH sosis
No
Sampel

pH

Rata-rata
I
II
III
1
Sosis1
6,3
6,4
6,4
6,4
2
sosis 2
6,4
6,2
6,5
6,4
Berdasarkan praktikum yang dilakukan diperoleh rata-rata nilai pH 6,4 untuk sampel sosis 1 dan bakso 2. Kisaran pH sosis menurut Soeparno (2005), yaitu 6,0 sampai 6,5. Hasil pengamatan apabila dibandingkan dengan literatur berada dalam kisaran normal. Menurut Lawrie (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengolahan sosis adalah emulsi sosis, bahan pengikat, selongsong sosis dan bumbu-bumbu. Masalah yang dihadapi dalam pembuatan sosis adalah pecahnya emulsi. Emulsi dapat pecah karena penggilingan berlebihan, penggunaan daging yang nisbah miosin, kolagen yang tidak seimbang daging pendek), pemanasan yang berlebihan dan terlampau cepat selama proses pengolahan.
Uji keempukan. Berdasarkan praktikum yang dilakukan pada pembuatan bakso, diperoleh hasil uji keempukan adalah sebagai berikut:
Tabel 6.3 Uji keempukan Sosis
No
Parameter

keempukan

Rata-rata
I
II
III
1
Sosis 1
19
18
21
19,3
2
Sosis 2
22,3
24,2
23,8
23,4
Berdasarkan hasil praktikum pengukuran keempukan menggunakan alat penetrometer merek KIC denga beban seberat 10 gram. Hasil uji keempukan rata-rata adalah 19,3 untuk sampel bakso 1 dan 23,4 untk sampel bakso 2. Menurut Naruki dan Kanoni (1992), nilai keempukan daging adalah 43,33. Hasil prsktikum menunjukaan keempukan sosis berada pada kisaran normal. Hal ini disebabkan bahan-bahan yang digunakan yang masih kurang pas. Menurut soeparno (2004), fakrtor yang berpengaruh terhadap nilai keempukan adalah jaringan ikat dan lemak yang terdapat dalam produk, juga temperatur yang mempunyai pengaruh bervariasi terhadap daya ikat air oleh protein daging, susut masak, pH, dan kadar jus daging. Tiga komponen utama daging yang andil terhadap keempukan atau kealotan, yaitu jaringa ikat, serabut otot, dan jaringan adiposa.




KESIMPULAN

Berdasarkan hasil praktikum, dapat disimpulkan bahwa cara pembuatan sosis yaitu terdiri dari bahan-bahan daging sapi, garam, merica, bawang putih, ketumbar, minyak, susu skim (binder), tepung tapioka (filler), dan air es. Dalam uji Sensoris bakso, diketahui warna sosis coklat, rasa enak, tekstur kasar, empuk dengan rata-rata tingkat pH 6,4 ada pada kisaran normal dan  keempukan 19,3 berada dibawah kisaran normaldan dapat diterima. Namun, dengan demikian sosis yang dihasilkan termasuk pada kisaran baik dan dapat diterima.





















DAFTAR PUSTAKA

Hadiwiyoto.1994. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging, dan Telur. Liberty , Yogyakarta.

Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging Edisi Kelima. Penerjemah Aminuddin Parakkasi. Universitas Indonesia. Jakarta.

Mead, G. C. dan Richardson, R. I. 2003. Poultry Meat Science Volume 25. CABI Publishing. New York : USA.

Rukmana. 2001.  Ikan Nila Budi daya dan Prospek Agribisnis. Kanisius. Yogyakarta.

Soeparno. 1991. Ilmu Otot dan Daging. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging, cetakan 4. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Suryati, Budi A.N, Srikandi. 2008. Korelasi dan Kategori keempukan Daging berdasarkan harga daging Berdasarkan hasil Pengujian Menggunakan alat dan parelis. IPB, Bogor .

Yuyun, A. 2007. Panduan Wirausaha Membuat Aneka Bakso. Agromedia. Jakarta.















ACARA VII
PENGEMASAN (PACKAGING)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengemasan merupakan salah satu cara memberiakn kondisi yang tepat bagi pangan untuk mempertahankan mutunya dalam jangka waktu yang diinginkan. Fungsi utama pengemasan, antara lain menjaga produk pangan akibat kontaminasi, melindungi pangan terhadap kerusakan fisik, dan menghambat kerusakan mutu. Penggunaan plastik sebagai pengemas untuk melindungai produk terhadap cahaya, udara atau oksigen, perpindahan panas, kontaminasi, dan kontak dengan bahan-bahan kimia.Polietelin merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan dalam industri karena sifat-sifatnya yang mudah dibentuk, tahan terhadap berbagai bahan kimia, penampakannya jernih, dan mudah digunakan sebagai laminasi (Dewandari, 2009).
Keuntungan dari pengemasan yaitu melindungi makanan dari kontaminasi kimia dan mikrobia, oksigen, penguapan air dan cahaya. Tipe pengemas yang digunakan merupakan tolak ukur penting yang mempengaruhi daya tahan/umur makanan. Wadah harus bersifat non toksik dan inert sehingga tidak terjadi reaksi kimia yang dapat menyebabkan perubahan warna, flavor, dan perubahan-perubahan lainnya (Wina Teknik pengemasan yang dapat memonitor kondisi produk makanan dan mencantumkan informasi tentang kesegaran makanan (freshness of the food), termasuk waktu, temperatur dan lokasi.
 Menurut Cenadi (2000), Packaging terdiri dari Intelligent Packaging, Controlled Packaging, Active Packaging. Intelligent Packaging yaitu kemasan jenis ini menginformasikan kepada konsumen tentang kesegaran makanan melalui indikator-indikator waktu/temperatur, microchips yang menempel dibalik kemasan dan polymers yang transparan serta frekuensi radio yang dapat mengidentifikasikan keadaan makanan dari rantai supply (Priyonorno, 1993). Teknik pengemasan yang dapat memonitor kondisi produk makanan dan mencantumkan informasi tentang kesegaran makanan (freshness of the food), termasuk waktu, temperatur dan lokasi.
Kemasan jenis ini menginformasikan kepada konsumen tentang kesegaran makanan melalui indikator-indikator waktu/temperatur, microchips yang menempel dibalik kemasan dan polymers yang transparan serta frekuensi radio yang dapat mengidentifikasikan keadaan makanan dari rantai supply (Priyono 2005). Controlled Packaging adalah  kemasan yang dapat mengendalikan makanan yang dikemasnya. Modified Atmosphere Packaging (MAP), dimana komposisi udara yang mengelilingi produk diatur untuk memperpanjang umur makanan (extended shelf life), mempertahankan rasa sehingga dapat mengurangi kebutuhan additives (Priyono 2005).
Active Packaging merupakan bahan-bahan yang didesain untuk melepas komponen-komponen aktif ke dalam makanan, seperti antioksidan, aroma, warna. Scavenging system, yang dapat menyerap substansi, seperti air dan oksigen dengan tujuan untuk memperpanjang umur (shelf life) atau menjaga kesegaran (freshness) dan kualitas makanan.
Selain penyimpanan dengan menggunakan metode pengemasan dengan plastik dan dengan cara sederhana dalam usaha memperpanjang daya simpan produk dapat dilakukan dengan cara penyimpanan hipobarik. Penyimpanan hipobarik ini dilakukan didalam ruang vakum yang berhubungan dengan udara yang mengandung air jenuh sehingga bermanfaat dalam mempertahankan tingkat oksigen dalam buah dan kehilangan air pada buah karena hal ini dapat menurunkan tekanan parsial pada oksigen dan pada buah yang lain dapat menekan produksi gas etilen (Hawa, La Choviya, 2006). Dengan memanfaatkan berbagai teknolgi yang ada akan memerlukan biaya yang cukup mahal tetapi bagi petani yang tidak memiliki biaya cukup dalam proses penyimpanan dapat menerapkan cara yang sederhana agar menekan biaya produksi produk.





























MATERI DAN METODE

Materi
Alat. Alat yang digunakan pada praktikum pengemasan adalah mesin pengemas vakum dan plastik poliethylen.
Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum pengemasan adalah produk daging seperti sosis dan bakso.

Metode
            Vacum pack disetting sesuai kebutuhan. Produk daging seperti sosis, dendeng, atau bakso dimasukan kedalam plastik poliethylen, dtata sedemikian rupa lalu dimasukan dalam vacum pack.



















HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut Sunadi (2005), pengemasan memegang perana penting dalam pengawetan bahan pangan hasil pertanian yang pada umumnya mudah rusak, karena dengan pengemasan dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan yang disebabkan faktor lingkungan yaitu kerusakan mekanis, perubahan kadar air, bahan pangan, absorbsi dan interaksi dengan oksigen, kehilangan dan penambahan cita rasa yang tidak diinginkan.
Bedasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan pengemasan dilakukan denga cara, produk hasil peternakan yaitu sosis dan bakso dimasukan kedalam plastik poliethylen, selanjutnya di vakum, maka dapat dilihat hasil yang diperoleh yaitu plastik poliethylen melekat pada sosis dan bakso, sehingga terlihat rapi dan tidak mudah rusakserta tidak akan ada mikrobia yang masuk, karena tidak ada celahsebagai jalan masuknya bakteri atau kuman.
Poliethylen merupakan jenis plastik tipis tang banyak digunakan dalam industri pengemasan fleksibel. Poliethylen memiliki sifat –sifat yang menguntungkan antara lain mudah dikelim oleh panas, fleksibel, permebilitas uap air dan rendah, dapat digunakan dalam penyimpanan beku (-500C), transparan sampai buram, serta dapat digunakan sebagai bahan laminasi dengan bahan yang lain (Kuswanto, 2003). Prinsip kerja mesin vacum adalah memanaskan produk pada suhu yang bisa diatur, disertai dengan penyedotan (pemvakuman) uap air dari produk yang dipanaskan tersebut. Hampir sama dengan vakum frying (hanya saja mesin ini tanpa minyak) (Syarif, 1996).
Syarat-syarat Kemasan yang Baik, adalah Dapat melindungi suatu barang sangat besar pengaruhnya terhadap penjuaalan,oleh karna itu perlu pembungkus yang dapat melindungi baik pada waktu masih di gudang,dalam pengankutan maupun pengendaraan di gudang. Bila kemasan mampu melindungi barang-barang tersebut maka kualitas bar ang-barang tersebut maka kualitas barang-barang akan lebih terjamin sehingga kelancaran penjual dapat di tingkatkan. Praktis, Ketepatan ukuran, dan Dapat menimbulkan kesan (Kuswanto, 2003).
Didalam pengemasan bahan pangan terdapat dua macam wadah, yaitu wadah utama atau wadah yang langsung berhubungan dengan bahan pangan dan wadah kedua atau wadah yang tidak langsung berhubungan dengan bahan pangan. Wadah utama harus bersifat non toksik dan inert sehingga tidak terjadi reaksi kimia yang dapat menyebabkan perubahan warna, flavour dan perubahan lainnya. Selain itu, untuk wadah utama biasanya diperlukan syarat-syarat tertentu bergantung pada jenis makanannya, misalnya melindungi makanan dari kontaminasi, melindungi kandungan air dan lemaknya, mencegah masuknya bau dan gas, melindungi makanan dari sinar matahari, tahan  terhadap tekanan atau benturan dan transparan (Winarno, 1997).
Plastik PE, baik jenis HDPE (high density polyethylene) atau LDPE (low density polyethylene) umumnya digunakan sebagai wadah atau kemasan primer. Artinya, kemasan yang kontak atau berhubungan langsung dengan produk. Sifat menguntungkan dari jenis plastik ini adalah sifat permeabilitas terhadap uap air dan air rendah, stabil terhadap panas, dan memiliki kerapatan tinggi sebagai pelindung terhadap tekanan luar. Selain itu, PE juga tidak bereaksi dengan makanan dan tidak menimbulkan racun (Sarwno dan Saragih, ) Plastik PE, baik jenis HDPE (high density polyethylene) atau LDPE (low density polyethylene) umumnya digunakan sebagai wadah atau kemasan primer. Artinya, kemasan yang kontak atau berhubungan langsung dengan produk. Sifat menguntungkan dari jenis plastik ini adalah sifat permeabilitas terhadap uap air dan air rendah, stabil terhadap panas, dan memiliki kerapatan tinggi sebagai pelindung terhadap tekanan luar. Selain itu, PE juga tidak bereaksi dengan makanan dan tidak menimbulkan racun (Sarwono dan Saragih, 2005).
Brown et al. dalam Rosalina (2011) menunjukkan bahwa penggunaan plastik polyethylen(PE) tertutup rapat memberikan hasil yang signifikan dalam mempertahankan susut bobot buah rambutan pada suhu rendah dan bertahan hingga hari ke sembilan. Wills et al. dalam Rosalina (2011) juga menyatakan film kemasan polyethylen merupakan bahan pengemas plastik yang baik digunakan pada sistem penyimpanan dengan atmosfir termodifikasi, karena mempunyai permeabilitas yang besar terhadap CO2 dibandingkan dengan O2. Mesin vacum atau mesin pengemas vakum saat ini telah banyak digunakan oleh pengusaha makanan dan usaha lainnya yang membutuhkan mesin vacuum. Bahkan, saat ini sudah ribuan mesin kemasan vakum ini yang sudah dipakai untuk usaha di berbagai kota di Indonesia. Fungsi mesin vacuum adalah untuk mengemas secara vacuum, dengan cara menghilangkan udara dalam kemasan plastik. Sehingga produk makanan lebih tahan lama, lebih mudah menyimpannya dan mudah pendistribusiannya.Cara kerja mesin vacuum adalah dengan menghisap udara dalam kemasan plastik, lalu merekatkan ujung kemasan plastik hingga menutup rapat produk. Jadi cara kerja mesin ini adalah menyedot udara dan menutup kemasan dengan cara pemanasan.












KESIMPULAN

Berdasarkam praktikum yang telah dilakukandapat disimpulkan bahwa setiap produk peternakan atau pertanian dibutuhkan proses pengemasan yang baik. Pegemasan mempunyai peranan penting untuk mencegah terjadinya kontaminasi oleh mikroorganisme. Plastik yang digunakan dapat berupa plastik poliethylen, poliproethylen atau High Distelin Poliethylen yang kemudian dibantu dengan menggunakan alat yang disebut dengan vacum pack.























DAFTAR PUSTAKA

Cenadi, Christine Suharto. 2000. Peranan Desain Kemasan dalam Dunia Pemasaran.Jurnal Nirmana Vol. 2, No. 1, Januari 2000: 92 – 103.

Dewandari, Kun Tanti. 2010. Studi Penerapan Haccp pada Pengolahan Sari Buah Jeruk Siam.Jurnal Standardisasi Vol. 12, No. 1 Tahun 2010: 43 – 49.

Hawa, La Choviya. 2006. Pengembangan Model Tekstur Dan Umur Simpan Buah Sawo (Achras Sapota L) Dengan Variasi Suhu Dan Tekanan Pada Peproyononyimpanan Hipobarik. Jurnal Teknologi Pertanian 7(1): 10-19.

Hidayat, Moch. Junaedi. 2009. Analisis Industri Budaya pada Desain Produk  Kemasan Makanan industri kecil menengah (IKM). Institut Teknologi Adhi Tama. Surabaya.

Priyono B, Yunanto A, Arief T. 2007. Karakteristik oseanografi dalam kaitannya dengan kesuburan perairan di selat  Bali.  Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Bali.

Rosalina, Yessy. 2011. Analisis Konsentrasi Gas Sesaat Dalam Kemasan Melalui Lubang Berukuran Micro Untuk Mengemas Buah Segar Dengan Sistim Kemasan Atmosfir Termodifikasi. Agrointek.

Sarwono, B. Dan Yen Pieter Saragih. 2005. Membuat Aneka Tahu. Penebar Swadaya, Jakarta.

Susanto, I, dan Sucipto. 1994. Teknologi Pengemasan Bahan Makanan. Family. Blitar.

Syarief, R dan A, Irawati. 1996. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian MPS. Jakarta.

Surodi, Kusmajadi. 2005. Pengemasan Bahan Pangan Hasil ternak dan penentuan waktu Kadaluarsa. Makasar. Sullawesi Selatan.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar